mencari dan berbagi pengetahuan apapun

Nama : Dewi wulan R

NIM : 01208059

FAKULTAS EKONOMI MANAGEMENT

DOSEN : Iga Aju Nitya Dharmani, SE., MM.

sumber : http://agusbaktiono.dosen.narotama.ac.id/files/2011/04/Strategi-Pengusaha-Jawa-Tengah-Membesarkan-Bisnis.pdf

Grup Pisma
Dari Kain Sarung sampai Agrobisnis
Siapa tak kenal sarung cap Gajah Duduk? Hampir semua orang mengenali merek ini. Namanya
melegenda sebagai sarung tenun pria. Terutama menjelang Idul Fitri, iklan sarung ini seperti
menjadi tontonan wajib di layar kaca, saking sering munculnya.
Walaupun Gajah Duduk sangat terkenal, tak banyak yang tahu siapa di belakang merek tersebut.
Adalah PT Pismatex, perusahaan tenun kawakan — berdiri tahun 1972 â€â€oe yang kini
didukung tak kurang dari 7.000 karyawan dengan omset di atas Rp 1 trilun/tahun, produsen
sarung tersebut. Pismatex merupakan bagian dari Grup Pisma yang saat ini tak hanya menekuni
bidang tenun, tapi juga merambah ke bisnis-bisnis lain.
Ghozi Salim (alm.) adalah yang pertama kali membangun Pismatex. Pria berdarah Arab ini
mendirikan pabrik di kawasan Bligo, Buaran, Kabupaten Pekalongan, yang berkembang hingga
sekarang — mencapai posisi sebagai pemimpin pasar di bisnis kain sarung.
Sayangnya, tahun 1992 Ghozi dan salah seorang putranya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas
sehingga Pismatex kehilangan sosok pemimpin perusahaan. Tak ada pilihan lain, putra sulung
Ghozi, Jamal Ghozi, yang tengah berada di Jepang, akhirnya dititahkan melanjutkan bisnis
keluarga ini. †Tidak ada lagi yang meneruskan karena saudara yang lain
perempuan,†ujar Jamal, anak sulung dari empat bersaudara itu. Setelah menamatkan
pendidikan di Shinshu University, Nagano, Jepang, Jamal memang tidak langsung pulang ke
Indonesia. Ia membuka perusahaan perdagangan di kota yang berjarak 120 km dari ibukota
Jepang, Tokyo. Tak jauh dari bisnis keluarganya, ia memilih bisnis perdagangan tekstil.
Panggilan keluarga untuk segera mengurus Pismatex membuat Jamal harus meninggalkan bisnis
tekstilnya di Jepang. Akan tetapi, tak ingin serta-merta melupakan Negeri Sakura, ia justru
mendirikan perusahaan trading baru di luar bidang tekstil, yakni electronic support. Dengan
demikian, ia masih sering bolak-balik Indonesia-Jepang.
Bisnis baru tersebut sebenarnya tak jauh dari usaha baru yang dikembangkan ayahandanya.
Sebelum wafat, Ghozi sempat mendirikan usaha patungan dengan perusahaan asal Jepang, KMK
Industrial Co. Ltd., yakni PT KMK Plastics Indonesia, yang bergerak di industri komponen
elektronik, khususnya plastik dan moulding. Perusahaan ini terus berekspansi dengan membangun
PT KMK Precision Indonesia yang fokus pada manufaktur molding dan reconditioning.
Tahun 1993 mulailah Jamal berkiprah di Pismatex. Ia pun melakukan berbagai pembenahan. Di
antaranya, memperbarui dan menambah mesin-mesin untuk proses produksi. Ia mendatangkan
mesin-mesin tekstil baru dari Jepang dengan teknologi mutakhir. Mesin yang tadinya hanya 200
unit ditambah hingga menjadi 1.400 unit. Karyawan pun melonjak drastis hingga 4.000 orang.
†Yang dibutuhkan adalah inovasi. Pada saat itu kesempatan masih bagus,â€Â
ujarnya. Investasi terus dilakukan secara bertahap hingga 1997, sebelum krisis ekonomi datang.
Jamal mengatakan, di bisnis tekstil, tak ada patokan baku tentang besaran investasi agar bisa
menjadi perusahaan tekstil yang terintegrasi. †Investasi Rp 1 miliar atau Rp 1 triliun juga
bisa, hanya beda skala,†katanya. Bahkan, menurutnya, investasi sebesar Rp 1 triliun
tidak cukup untuk membuat pabrik tekstil terintegrasi.
Pismatex saat ini sudah menjadi pabrik tekstil terintegrasi. Perusahaan mampu melakukan proses
pembuatan benang (spinning), pembuatan kain (weaving), penyempurnaan kain (finishing),
pewarnaan (dyeing) hingga menjadi produk garmen. Ekspansi di bisnis tekstil ini terwujud dengan
didirikannya pabrik spinning, PT Pisma Putra Tekstil, tahun 2000. Pabrik ini membuat berbagai
macam benang, mulai dari polirayon, poliester, rayon hingga katun. †Awalnya memang
untuk Pismatex, tapi akhirnya juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan benang dalam negeri
maupun luar negeri, seperti Jepang, Eropa dan Amerika Latin. Jumlahnya hanya 20% yang
ekspor,†ujar Jamal yang lahir tahun 1960. Perusahaan ini memiliki kapasitas produksi
4.000 bal/bulan.
Selain sarung, Pismatex juga memproduksi baju Muslim dan kain untuk baju. Target pasarnya,
30% ekspor ke negara-negara Timur Tengah. Meskipun begitu, produknya bisa sampai ke negaranegara
Afrika karena produk yang diekspor ke Dubai dan Jeddah bukan hanya untuk pasar lokal di
sana, tetapi diekspor lagi ke Afrika. Hanya saja, merek yang digunakan bukan Gajah Duduk, cukup
†Made in Indonesia, Pismatex†. †Negara Afrika atau Middle East tidak
mau merek binatang, anti,†kata suami Azza Dina itu. Sarung Gajah Duduk juga diekspor
ke Malaysia, Thailand dan Brunei.
Saat ini, setiap bulan Pismatex mampu menghasilkan 1 juta lembar kain sarung. Jumlah tersebut
sudah termasuk dari produksi mitra usahanya di Pekalongan. †Tidak semua produk kami
produksi sendiri, sebagian juga diberi ke beberapa orang, Mereka adalah mantan karyawan kami
yang sudah pensiun. Mereka kami bekali pekerjaan agar mandiri,†tutur Jamal.
Selain karena ada kesempatan, kunci sukses Gajah Duduk, menurut Jamal, juga karena
keberanian perusahaannya dalam mendatangkan mesin-mesin baru dan membangun merek.
Menurutnya, mengelola merek bukan hal mudah. †Membangun merek tidak gampang,
harus berinvestasi untuk membangunnya, seperti memelihara anak, harus diberi makan,
disekolahkan di tempat yang bagus agar pintar,†kata pria asal Surabaya itu.
Kini, bisnis tekstil memberi kontribusi 40% terhadap total pendapatan Grup Pisma yang menurut
Jamal sudah mencapai Rp 1 triliun lebih. Bisnis elektronik memberi kontribusi 30%. Selebihnya
berasal dari bisnis properti dan toiletries.
Di bisnis elektronik, selain PT KMK Plastic Indonesia dan PT KMK Precision Indonesia, Grup Pisma
pun memiliki PT J-Tech Manufacturing of Indonesia (J-Tech) yang didirikan tahun 2003. Ini
merupakan perusahaan pendukung industri elektronik yang 90% target pasarnya adalah Jepang.
J-Tech berdiri pada Oktober 2002. Sebelumnya, perusahaan ini memiliki pabrik di Cileungsi,
Bogor. Namun, pada April 2005 pabriknya dipindah ke Karawang, dengan perlengkapan mesin
yang lebih representatif. Pabrik seluas 1,8 hektare itu memproduksi komponen telepon seluler.
Perusahaan ini memproduksi perangkat mobile phone dan fixed wireless phone. Selain itu, J-Tech
memproduksi 200 komponen elektronik lainnya seperti telepon rumah, printer, transformer pocket
dan motor. “Kalau dukungan industri tidak bicara kapasitas produksi, tergantung
order,†ujar Jamal. Sejumlah perusahaan kelas dunia seperti Panasonic, Sanyo, Sony
Aiwa, Epson, Moric dan Shinetsu sudah masuk dalam daftar pelanggan perusahaan ini.
Tahun 2004, J-Tech membentuk usaha patungan dengan PT Inti, yaitu dengan mendirikan PT Inti
Pisma Internasional, yang memproduksi ponsel CDMA dengan merek Nexian. Tahun 2006 Nexian
berhasil mencatatkan diri di Museum Rekor Indonesia sebagai ponsel pertama dan satu-satunya
yang dirakit di dalam negeri, sekaligus juga yang berhasil memproduksi 100 ribu unit ponsel
dalam kurun 6 bulan.
Selain tekstil dan elektronik, Grup Pisma juga menaungi PT Malidas Sterilindo, perusahaan
manufaktur pihak ketiga untuk produk kecantikan dan toiletries. Sejak 1996, perusahaan yang
terletak di Sidoarjo ini menghasilkan produk Johnson & Johnson untuk bayi dan dewasa. Ada juga
perusahan yang fokus di bidang distribusi farmasi dan peralatan kesehatan, yaitu PT Pisma
Medica, yang berdiri pada 2005.
Di bisnis pengembang properti, grup ini memiliki PT Pisma Gajah Putra Realestate, yang lokasi
proyek-proyeknya ada di Pekalongan. Perusahaan ini membuat rumah hunian Pisma Griya Permai
I (total 552 unit) di Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan, di atas lahan 9,2 ha. Ada juga Pisma
Griaya Permai II yang didirikan di atas tanah seluas 5 ha di Desa Wiradesa, Kab. Pekalongan.
Jamal mengatakan, kunci sukses sebagai wirausaha adalah harus selalu memiliki jiwa optimistis
dan tidak mudah menyerah. Selain itu, juga punya keberanian untuk terjun ke dunia bisnis.
Manusia diciptakan sempurna, sekarang tinggal bagaimana memanfaatkan karunia Tuhan itu.
Berdasarkan pengalaman, akan didapat insting bisnis yang bagus. †Seperti apa pun
melakukan perhitungan dan sepintar apa pun orangnya, risiko rugi pasti ada,†ujarnya
menegaskan.
Meski sempat tertunda karena krisis ekonomi global saat ini, tahun depan Grup Pisma akan
melakukan ekspansi di bidang agrobisnis, yaitu pupuk dan bioetanol. Jamal akan menanamkan
investasinya ini, lagi-lagi, di Jawa Tengah. †Kenapa Ja-Teng, kalau tidak Ja-Teng, nanti
saya dimarahi Pak Bibit,†ujarnya sembari tertawa ringan. Orang yang dikenal dekat
dengan Bibit Waluyo, Gubernur Ja-Teng, ini mengatakan, ada keinginan untuk meng-go public-kan
salah satu perusahaannya. †Tidak tahu yang mana dulu, apa yang elektronik atau
tekstilnya, namun banyak orang yang mengharapkan tekstilnya karena produknya sudah punya
brand,†kata pehobi traveling ini.
Taufik Hidayat dan Moh. Husni Mubarak
Bintang Putra Mobilindo:
Raja Mobil Honda di Solo
Di Kota Solo, Jawa Tengah, hanya ada dua dealer resmi mobil Honda: Honda Bintang yang ada di
Jl. Brigjen Slamet Riyadi 181, dan Honda Solo Baru di Jl. Raya Solo Baru. Meski beda nama dan
tempat, kedua dealer ini pemiliknya satu, di bawah payung PT Bintang Putra Mobilindo. Pemiliknya
adalah suami istri Handoko dan MHM. H. Kristianti.
Prestasi yang diraih kedua dealer itu tergolong ciamik. Penghargaan Best Performance dari PT
Honda Prospect Motor di tahun 2004 dan juga juara I untuk Quick Service tingkat regional tahun
2008 telah diraih. Tak hanya itu, penjualan unit kendaraan yang dijajakannya pun tak pernah sepi
dari tahun ke tahun, malahan selalu melebihi target. Misalnya pada 2007, dealer Honda Solo Baru
menargetkan penjualan 293 unit, tapi realisasinya mencapai 312 unit. Kondisi serupa juga berlaku
di Honda Bintang yang realisasinya mencapai 330 dari target 311 unit.
Dealer milik Kristianti ini dijadikan agen tunggal Honda sejak 1997. Saat itu menjelang krisis
moneter, ia baru memiliki satu dealer mobil, yaitu Honda Bintang. Belum sempat mengecap
manisnya berbisnis mobil Honda, Solo dilanda kerusuhan pada 2008. Tak heran, dari Mei sampai
Agustus 1998, Honda Bintang sempat berhenti. Namun, petinggi Honda Prospect Motor, Ang Kang
Hoo, menyemangati dirinya untuk bangkit kembali. “Waktu itu kami dikirimi mobil,
termasuk kendaraan operasional,†tutur Kristianti mengenang.
Alasan lainnya Kristianti membuka dealer-nya kembali, karena menurut catatan, sedikitnya
terdapat 300-an unit mobil yang dibakar saat kerusuhan itu. “Orang kan butuh alat
transportasi juga. Jadi saya putuskan untuk membuka dealer mobil lagi,†ia
mengungkapkan, “Meskipun waktu itu daya beli konsumen belum meyakinkan.â€Â
Pasalnya, pelanggan masih waswas mengenai keamanan. “September mulai buka, kami
bisa jual 6 unit,†ujarnya menambahkan.
Untuk mengembalikan gairah pasar, ia memperpanjang warranty claim. Misalnya, di bidang servis
yang biasanya hanya 10 ribu km atau tiga bulan, bisa sampai satu tahun servis gratis. Selain itu,
ia juga menurunkan bunga kredit serta insentif dan bonus bagi pembeli. Diyakini Kristianti,
penjualan sangat terbantu dengan metode ini.
Nah, pada 1999 ia membuka outlet baru di kawasan Solo Baru (Kabupaten Sukoharjo). Pasarnya
cukup besar, karena banyak penduduk kelas menengah-atas yang tinggal di wilayah ini. Makanya,
dealer dan bengkel yang ada di sini lebih besar, yakni seluas 4.200 m2. Dealer baru ini diserahkan
sepenuhnya pada anak pertamanya, Edwin Nugroho. “Penjualan Honda per tahun cukup
menggembirakan sejak outlet ini dibuka. Bahkan penjualannya selalu melebihi target,â€Â
Edwin menambahkan.
Sejatinya, kesuksesan ini tak diraih dalam sekejap. Kristianti menuturkan, cikal bakal bisnisnya itu
dimulai sejak 1972. Saat itu, ia bersama suaminya, Handoko, mencoba peruntungan dengan
meneruskan usaha jual-beli mobil milik mertuanya. Sebagai anak tunggal, suami Kristianti
diharuskan melanjutkan bisnis bapaknya (L. Anwar). Menurutnya, sang mertua itu cukup disegani
di bisnis mobil Kota Solo.
Yang dijual waktu itu tak hanya mobil bekas, tapi ada pula mobil baru. Hanya saja, ketika itu
belum ada showroom khusus yang dimanfaatkan untuk memajang dagangannya. Bahkan, bengkel
untuk perbaikan mobil pun belum punya. Perlahan tapi pasti, perusahaannya bernama Star Motor
mulai mekar
Nah, Dewi Fortuna mulai menghampirinya pada 1974. Saat itu PT Astra International menunjuk
dealer milik Kristianti ini menjadi dealer resmi Daihatsu, Peugot dan Renault. Alasannya, di
samping Astra di Semarang belum buka, juga prestasinya dinilai lumayan untuk penjualan mobil di
Solo. Selain itu, pasar truk di Solo juga sedang booming. Apalagi, merek Daihatsu saat itu sedang
merajai. Sewaktu ditunjuk oleh Astra inilah peralatan perbengkelannya bertambah. Astra,
disebutkan Kristianti, memberikan pula semacam kredit untuk pengadaan alat perbengkelan.
“Pengetahuan saya tentang otomotif juga bertambah karena sering mengikuti training yang
diadakan Astra,†tutur kelahiran Kutoharjo 16 Maret 1948 ini.
Namun, masa keemasannya dengan Astra ini segera berakhir ketika Astra akhirnya membuka
authorized dealer sendiri di Kota Solo sekitar tahun 1985 dan selanjutnya di Semarang. Setelah
putus dengan Astra, Star Motor menjadi agen tunggal penjual mobil Ford di Solo. Hanya saja,
karena merek Ford dinilai kurang laku, Kristianti pun kembali menjual berbagai merek mobil
hingga akhirnya dipinang Honda.
Dede Suryadi dan Sigit A. Nugroho
Grup Sambas
Jaringan Bisnisnya Menyerap 500 Karyawan Lebih
Keluarga Sambas bisa dibilang salah satu ikon Kota Purbalingga. Maklum, jaringan bisnis keluarga
ini lumayan luas, seperti kontraktor (general contractor), pengolah hotmix, alat berat, bahan
bangunan, minimarket Alfamart, optik, toko emas, bengkel mobil, SPBU, percetakan dan
pendidikan (sekolah Islam modern terpadu). Semua usaha itu di bawah payung Grup Sambas
yang mempekerjakan sekitar 500 karyawan. Hebatnya, kiprah bisnis ini tidak sebatas di
Purbalingga, tapi juga merambah ke Purworejo, Cilacap, Banjarnegara, serta kabupaten lain
sekitar Banyumas. Tak mengherankan, masyarakat setempat menjuluki keluarga ini sebagai
“wong sugih†-nya Purbalingga.
Nama Sambas bukan asal comot. Nama itu terkesan menyiratkan keluarga itu berasal dari
Kalimantan. Padahal, Sambas yang ini bukanlah sebutan klan, melainkan singkatan Suchari Adi
Mulyo Asli Banyumas. Dan, Suchari Adimulyono (alm.) adalah orang yang membidani bisnis
keluarga itu pada 1970-an. Kemudian, anak-anaknya membesarkan perusahaan hingga menjadi
konglomerat daerah.
Sejak awal, pengelolaan bisnis Grup Sambas telah melibatkan generasi kedua. Mereka terdiri atas
7 kakak-beradik, dua di antaranya adalah Widji Laksono dan Eling Purwoko. “Sebenarnya
kendali Grup Sambas dipegang oleh Mas Eling, tapi beliau akhir-akhir ini banyak bergerak di
bidang sosial. Saya baru bergabung dengan perusahaan pada 1993. Jadi, lima tahun belakangan
saya lebih banyak berperan, †ujar Widji, Direktur Grup Sambas, menjelaskan.
Widji mengaku bisnis Grup Sambas berkembang pesat dalam 10 tahun terakhir. Kemajuan itu
dicapai dengan berbagai upaya dan strategi jitu. “Kami memang terus mencoba, berikhtiar
dan belajar tiada henti. Saya selalu mengikuti perkembangan-perkembangan dunia bisnis
konstruksi, yang menjadi core bisnis kami, hingga perkembangan teknologi,†tutur sarjana
hukum dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini. Menurutnya, bisnis harus dikembangkan
secara profesional, antara lain dengan menjaga kualitas dan kesinambungan serta
memberdayakan pegawai.
Biasanya bisnis konstruksi sarat dengan proyek-proyek pemerintah. Namun, Grup Sambas melalui
PT Sambas Wijaya (lini bisnis konstruksi) tidak mau mengandalkan proyek dari pemerintah
sebagai lahan utama. Mereka lebih mengutamakan bekerja sesuai dengan komitmen yang
mengacu pada prosedur operasional standar dan mutu, serta menjaga nama baik keluarga.
Contohnya, grup ini menggarap proyek pembangunan pabrik dan gudang PT Boyang Industry.
Pabrik ini adalah produsen rambut palsu terbesar di kota itu dan baru relokasi dari Guangzhou,
Cina, ke Purbalingga. Asal tahu saja, selama ini bisnis konstruksi Sambas mengerjakan paketpaket
proyek yang nilainya di atas Rp 25 miliar.
Manajemen Grup Sambas menyadari karyawan adalah aset penting. Itulah sebabnya, untuk
meningkatkan kualitas karyawan, secara rutin diundang beberapa trainer. Misalnya, Ary Ginandjar
dari ESQ atau konsultan sertifikasi mutu ISO. Sementara untuk menjaga loyalitas bawahan, secara
berkala perusahaan ini memberangkatkan haji karyawan. Dari tahun 2003 sampai sekarang,
sudah ada 11 karyawan yang berhaji gratis.
Bagi Widji, melihat kondisi dunia bisnis sekarang, investasi yang paling memungkinkan adalah
memanfaatkan daerah setempat. Untuk itu, anak ke-4 dari 7 bersaudara ini akan berekspansi ke
usaha pengolahan bahan makanan dan minuman yang terintegrasi. “Saat ini rencana
pabriknya masih dalam tahap studi kelayakan. Mungkin tahun 2009 akan terealisasi,†ujar
pengusaha berusia 39 tahun itu. Pabrik yang diperkirakan menelan dana ratusan miliar itu juga
melibatkan para investor lokal dari Purbalingga. Bahan bakunya bakal dioptimalkan dari daerah
setempat. Perusahaan yang nantinya zero waste process ini diharapkan bisa melempar mayoritas
produknya ke pasar ekspor.
Grup Sambas sangat peduli terhadap penciptaan lapangan kerja. “Kami ingin menjadi salah
satu perusahaan yang ikut berperan di dalam era penciptaan lahan kerja untuk mengurangi
pengangguran,†kata Widji. Menurut dia, makin banyak orang bekerja, makin makmur
daerah tersebut. “Kalau Purbalingga yang penduduknya hampir 1 juta makmur, bisnis pun
ikut berkembang,†ujar suami Aryawindarti itu menambahkan.
Eva Martha Rahayu/Herning Banirestu
Mustika Jati Jepara:
Pionir dan Eksportir Mebel Jati
Kota Jepara memang identik dengan produk mebel berbahan baku kayu jati. Lihat saja, di kota ini
showroom mebel ada di mana-mana. Dari kota ini pula muncul CV Mustika Jati Jepara (MJJ)
sebagai pemain bisnis mebel terkemuka di Tanah Air, khususnya produk mebel kayu jati.
MJJ dirintis oleh H. Ikhsan Hasyim (almarhum) pada 1973. Dalam tempo singkat, MJJ mampu
merambah pasar Jakarta, walaupun lebih sebagai pemasok ke sejumlah showroom mebel ternama
seperti Candi Baru, Hasta Karya dan Karya Guna. Saat itu, jenis produk mebel yang dipasarkan
pun masih terbatas pada perlengkapan rumah tangga seperti dining set, display cabinet, sofa set,
dan dressing table, belum sampai menggarap office set.
Penataan perusahaan dan perubahan strategi pemasaran mulai dilakukan di MJJ ketika anak-anak
H. Ikhsan, yakni H. Noer Yachman dan 7 saudaranya, masuk ke perusahaan ini pada 1990. Selain
berkiprah di MJJ, Yachman dan saudara-saudaranya juga memiliki bisnis mebel sendiri. Setiap
gerai yang mereka miliki pasti diberi nama Mustika. Di Jepara ada Mustika Sapta Kencana dan
New Mustika. Sementara di Jakarta ada Mustika Jati Baru (milik Turchamim), Mustika (milik Siti
Kurniati), dan Mustika Jepara (milik Yachman). Di Jakarta, mereka menguasai sentra mebel di Jl.
Raya Bekasi Km 18, dan mereka juga memiliki bengkel finishing sendiri.
Menurut Yachman, ketika ia dan saudara-saudaranya masuk, MJJ tengah mengalami stagnasi.
Strategi pemasaran yang dilakukan bapaknya dinilainya kurang yahud dan tidak agresif.
“Dulu, Bapak belum memikirkan pasar luar negeri. Padahal, kebutuhannya cukup
besar,†ucap Yachman yang dipercaya sebagai Direktur MJJ.
Oleh karena itu, setelah dipercaya memegang tampuk pimpinan di MJJ, Yachman dan saudarasaudaranya
langsung menerapkan strategi membidik pasar ekspor. Pasar Amerika Serikat, Eropa
dan Asia menjadi bidikan utamanya. Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ini mulai
menjaring pembeli asing melalui jaringan yang dimilikinya. Tak hanya itu, Yachman sengaja
melebarkan sayap Divisi Pemasaran MJJ ke Singapura. Tujuannya untuk menjaring para pembeli
asal Singapura. Negeri Singa ini dianggap potensial karena banyak pemasarnya yang singgah ke
sini. Bahkan, MJJ pernah pula membuka divisi yang sama di Malaysia. Tak lupa, Yachman pun
memanfaatkan teknologi Internet untuk memasarkan produknya (lewat situs
http://www.mustikajati.co.id). “Agar buyer ataupun customer dapat langsung mengorder dari
tempat tinggalnya,†ia menjelaskan.
Perubahan strategi bisnis ini cukup menakjubkan. Dalam sebulan, Yachman menceritakan, MJJ
mampu mengekspor produk mebelnya sebanyak 15 kontainer â€â€oe satu kontainer nilainya
mencapai sekitar Rp 250 juta. Itu hanya untuk pasar Kanada dan AS. Padahal, dalam
perkembangannya kemudian pasar ekspor MJJ juga mencakup Asia dan Eropa. Lambat laun nama
MJJ mulai dikenal oleh buyer luar negeri. Keadaan yang sama juga terjadi pada pasar lokal.
“Buyer lokal juga merekomendasikan produk Mustika,†Yachman mengklaim.
Untuk pasar domestik, menurut Yachman, produk MJJ sudah merambah ke seluruh Indonesia,
walaupun gerainya hanya terdapat di Jepara dan Jakarta. “Tapi mitra bisnis kami ada di
Bali, Makassar dan Kalimantan. Kami memasok showroom-showroom yang ada di
Indonesia,†ungkap Yachman, yang menilai besarnya pasar lokal sama dengan pasar
ekspor.
Toh, Yachman mengakui, krisis global yang terjadi saat ini berimbas pula pada kinerja MJJ. Dalam
7 bulan terakhir, terjadi penurunan 20%-30% untuk pasar ekspor. Sementara untuk pasar lokal,
penurunannya mencapai 15%. Di sisi lain, investor asing mulai merangsek masuk dan
memproduksi sendiri, sehingga persaingan semakin ketat. Akibatnya, ia mengakui omset MJJ
melorot hingga 20%, hingga terpaksa merampingkan karyawan. Kalau sebelumnya pegawainya
sekitar 500 orang, kini tinggal setengahnya. “Sekarang ini pengadaan bahan bakunya
tergolong susah,†kata Yachman menyebut masalah yang lain.
Agar tetap eksis dan memenangi persaingan, Yachman melakukan beberapa perubahan strategi
dengan prinsip mengikuti selera pasar. Antara lain, dengan memunculkan desain dan finishing
baru yang menarik dengan mengikuti kemauan pasar. Misalnya, untuk pasar Asia lebih banyak
menampilkan ukirannya, sedangkan untuk pasar AS dan Eropa, lebih menawarkan konsep
minimalis. Selain itu, MJJ juga mulai mengalihkan pasarnya dari AS ke Asia Timur.
A. Mohammad B.S. & Sigit A. Nugroho
Pasar Raya Sri Ratu:
Pionir Pusat Perbelanjaan Modern
di Semarang
Boleh dibilang Pasar Raya Sri Ratu adalah raja ritel dari Jawa Tengah. Bagaimana tidak, selain
kepeloporannya, dalam bisnis pusat perbelanjaan modern yang dirintis sejak tahun 1970-an,
gerainya juga terus beranak pinak. Dari Semarang, gerai Sri Ratu merambah ke Purwokerto,
Tegal, Pekalongan, bahkan meluas hingga ke Jawa Timur, yakni di Kediri dan Madiun.
Hebatnya, meski belakangan jaringan hypermarket dan supermarket asal Jakarta agresif
menyerbu Semarang, Sri Ratu tetap eksis. Lihat saja kehadiran gerai Carrefour, Hypermart,
Makro, Matahari Department Store, dan Alfa Supermarket yang menambah marak persaingan
bisnis ritel di ibu kota Ja-Teng itu. Namun, entah mengapa justru beberapa peritel besar yang
menjadi kompetitor Sri Ratu itu malah limbung.
“Sebenarnya kami sempat grogi juga dikepung oleh peritel kakap dari Jakarta. Apalagi
beberapa lokasi Sri Ratu head to head dengan peritel-peritel raksasa tersebut,†tutur
Resturiadi Tresno Santoso yang membesut Sri Ratu bersama istrinya, Tutik Santoso.
Resturiadi memiliki jurus khusus agar Sri Ratu bisa memenangi persaingan. “Kami
mengubah konsep Sri Ratu dari one stop shopping menjadi mal,†ujar pria kelahiran
Yogyakarta tahun 1949 itu. Maka, di akhir tahun 2008 bos yang membawahkan 4.500 karyawan
ini memperluas tiga toko Sri Ratu menjadi mal, yakni gerai toko di Madiun, Tegal dan Kediri.
Kunci keberhasilan lainnya dalam mengelola Sri Ratu: tekun dan ulet. “Yang jelas, kami
harus customer-oriented dan memberi pelayanan terbaik,†kata Resturiadi yang juga
berbisnis ayam petelur di bawah payung PT Rehobat. Tidak kalah penting, kekuatan Sri Ratu
adalah memiliki relasi bisnis yang luas di luar negeri. Kolega-kolega inilah yang memasok aneka
rupa produk fashion-branded ke Sri Ratu.
Resturiadi mengisahkan cikal bakal kelahiran Sri Ratu. Mula-mula usahanya itu hanyalah toko kecil
biasa yang dibuka pada 1978. Ia dipaksa ayahnya untuk mandiri secara ekonomi dengan
membuka usaha toko. “Awalnya saya bingung, toko ini mau diisi apa. Untunglah, ada
beberapa relasi saat saya menjadi salesman sepatu yang bersedia menjadi pemasok dengan
sistem pembayaran di belakang,†ujarnya sembari mengutarakan, awalnya jumlah
pegawai yang digaji hanya 20 orang.
Tak dinyana, dalam perkembangannya toko itu menjadi besar. Dan, tahun 1986 bendera Sri Ratu
mulai dikibarkan dengan diikrarkan sebagai pusat perbelanjaan modern pertama yang sudah
berpendingin dan ada fasilitas eskalatornya. “Betul, sebelum Sri Ratu sudah ada
supermarket Mickey Mouse. Tapi, supermarket itu belum ada AC dan eskalatornya,â€Â
Resturiadi menuturkan. Jadi, ia menegaskan, Sri Ratu-lah yang menjadi pionir pusat perbelanjaan
modern ber-AC dan memiliki tangga berjalan yang otomatis.
Gerai Sri Ratu yang perdana di Semarang dibangun setinggi empat lantai dengan masing-masing
lantai seluas 1.500 m2. Dengan konsep one stop shopping kala itu, Sri Ratu terdiri dari
department store, supermarket, kafetaria dan arena bermain anak-anak.
Ketika membangun Sri Ratu, Resturiadi mengaku tidak semata-mata mengejar untung, melainkan
juga membawa misi pemberdayaan ekonomi dari Pemda Semarang. Mereka menginginkan adanya
pembangunan pusat perbelanjaan yang bisa menjadi lokomotif ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Itulah sebabnya pembangunan Sri Ratu didukung penuh oleh Bank Pembangunan Daerah Jateng.
“Tujuannya memang untuk lebih menghidupkan dan menjadi lokomotif ekonomi Kota
Semarang,†ia menambahkan.
Sewaktu pertama diperkenalkan, Sri Ratu sempat menimbulkan pro dan kontra. Kala itu, banyak
yang pesimistis bahwa Sri Ratu akan bertahan lama dengan penampilannya yang megah dan
modern. †Orang-orang menganggap cost kami akan tinggi, sehingga tidak bisa ditutup
dengan omset penjualan,†papar Resturiadi. Toh, faktanya tidak demikian. Malahan, Sri
Ratu terus mengepakkan sayap bisnisnya.
Setelah sukses di Semarang, setiap dua tahun muncullah cabang Sri Ratu di tempat lain. Selain
menambah gerai di Semarang, tepatnya di kawasan Peterongan, Sri Ratu merambah pula ke kotakota
lain. Sekadar informasi, ekspansi Sri Ratu keluar kota Semarang ternyata sebagian besar
atas permintaan dari pemda setempat yang menginginkan daerahnya maju. “Meski kami
diminta, tidak ada fasilitas khusus, kecuali kemudahan perizinan,†ucap bapak dua anak
itu.
Eva Martha Rahayu/Gigin W. Utomo
Tong Tji:
Dedengkotnya Teh Melati
Bagi penggemar jasmine tea, merek Tong Tji pasti tak asing. Apalagi, Tong Tji menawarkan
berbagai pilihan produk — yang biasa ataupun yang eksklusif — dengan kemasan yang apik dan
modern. Meski terkenal, banyak yang tak tahu bahwa usia bisnisnya telah mencapai 60 tahun.
Sekarang, pengelolaannya berada di tangan generasi ketiga.
Tatang Budiono, Direktur Perusahaan Teh Dua Burung (PTDB, pemilik merek Tong Tji),
mengungkapkan bahwa kakeknya, Tan See Giam, mendirikan perusahaan ini pada 1938. Boleh
dibilang, PTDB merupakan salah satu pelopor industri teh di Tegal. Saat itu, merek Tong Tji belum
ada, karena baru dilahirkan pada 1965, dari tangan Suwandi Tjahjanto, ayah Tatang. Merek Tjong
Tji diposisikan sebagai merek kedua dengan mutu kelas satu, melengkapi merek Teh Dua Burung
yang lebih dulu beredar.
Menurut Tatang, yang menonjol dari perusahaan warisan keluarganya adalah komitmennya
terhadap mutu teh. Ia mengungkapkan pada saat krisis ekonomi 1985, harga bahan baku teh
meningkat tajam sementara daya beli menurun. Saat itu banyak perusahaan teh menurunkan
kualitas tehnya supaya harganya terjangkau. Namun, PTDB justru melakukan sebaliknya:
menaikkan harga, tapi kualitas teh dipertahankan. “Perlu perjuangan, karena rata-rata
harga kami lebih tinggi dari yang lain, tapi kualitas yang utama,†ujar laki-laki kelahiran
Tegal, 14 Juli 1958, ini seraya menambahkan, perusahaannya memiliki tim riset & pengembangan
sendiri.
Meskipun terhitung sebagai perusahaan tua, inovasi produk tampaknya selalu menjadi perhatian
PTDB. Menurut Tatang, inovasi yang pertama kali dilakukan perusahaannya adalah meluncurkan
teh celup pada 1990. Saat ini teh celup tersebut telah dikembangkan ke berbagai varian. Selain
jasmine tea (teh melati), ada juga black tea jasmine, green tea, green tea jasmine, lemon tea
dan, yang baru dipasarkan, mix fruit infusion (lemon, peach dan strawberry).
Gebrakan lainnya, perusahaan ini memelopori pembuatan gerai teh kemasan cup siap minum. Ide
itu timbul ketika Tatang jalan-jalan ke luar negeri. Saat itu, ia melihat bubble tea yang dijual di
pinggir jalan dengan menggunakan kemasan cup. Awalnya, gerai teh Tong Tji ini memberikan
minuman segar es teh secara gratis di lokasi-lokasi strategis seperti mal atau pasar. Ternyata,
sambutannya luar biasa sehingga gerai ini menjual es teh cup dengan harga Rp 2.500/cup,
tergantung lokasinya.
Meskipun gerai es teh cup ini banyak diminati orang untuk di-franchise-kan, Tatang belum mau
melakukannya. Alasannya, ada risiko penurunan kualitas teh Tong Tji. “Pengawasannya
susah,†katanya. Saat ini pengelolaan gerai-gerai ini diberikan ke orang-orang yang betulbetul
dipercaya. Biasanya karyawan atau keluarga karyawan. “Jadi, saya tidak
mengutamakan kuantitas. Takutnya menjatuhkan kami sendiri.â€Â
Kekhasan tehnya, menurut Tatang, rasanya sepet dengan kadar tanin yang tinggi sehingga
rasanya lebih kuat. Menurutnya, hal ini dimungkinkan karena daun teh yang digunakan adalah
daun teh pilihan, yang berasal dari Sukabumi, Jawa Barat. Daun teh ini dicampur dengan bunga
melati yang diambil dari pantai utara Jawa (Pantura) sekitar Tegal. Pemasaran teh Tong Tji masih
berkonsentrasi di Pulau Jawa, dan mayoritas di Ja-Teng dan Jawa Barat. Semua bahan itu diolah di
pabrik dengan 300 karyawan di Desa Padaharja, Kecamatan Kramat, Tegal. Kapasitas produksinya
3-4 ton/hari tergantung pada jumlah bunga melati yang ada. Pasalnya, produksi bunga ini sangat
tergantung musim.
Tatang mengklaim perusahaan teh yang memiliki total 1.000 karyawan ini masuk lima besar
nasional untuk kategori jasmine tea. Menurut pehobi golf ini, pasar teh Indonesia masih sangat
besar karena minum teh merupakan bagian dari tradisi bangsa ini. Bahkan, saat ini anak kecil saja
suka minum teh. Diakuinya, dari segi permodalan, perusahaannya kalah dibanding dengan
kompetitor. Itulah sebabnya, ia hanya mau bersaing dalam hal inovasi produk. Dengan anggaran
promosi 5%, PTDB lebih banyak melakukan promosi below the line.
Sebagai generasi ketiga, ayah empat anak ini telah mempersiapkan putra-putrinya — yang
bersekolah di Australia– untuk menggantikan posisinya di perusahaan. Anak pertama dan
keduanya sudah belajar dan terjun ke perusahaan. “Mereka harus tahu dan mulai dari
bawah,†ujar Tatang. †Saya katakan (kepada mereka), perjuangan kalian lebih
berat daripada saya dulu,†tutur pria yang duduk di tampuk kepemimpinan perusahaan
pada usia 19 tahun karena ayahnya meninggal dunia ini.
Yuyun Manopol & Moh. Husni Mubarak
Bandeng Juwana:
Jagonya Bandeng Presto
dari Pandanaran
Jalan-jalan ke Semarang, belum pas rasanya kalau tidak membawa oleh-oleh bandeng duri lunak
presto. Nah, di antara deretan toko oleh-oleh di sepanjang Jl. Pandanaran, ada sebuah toko yang
selalu tampak ramai oleh antrean pembeli, yakni Toko Bandeng Juwana.
Toko yang terletak di Jl. Pandanaran 57 itu awalnya hanya sebuah rumah, sekaligus tempat
praktik dokter, milik dr. Daniel Nugroho Setiabudi (kini 75 tahun). Ketika itu, Daniel dan istrinya,
Ida Nursanti (almarhum), iseng-iseng menjual bandeng presto. Pelanggan awalnya tak lain para
pasien yang berobat ke situ. Daniel mulai menjual bandeng presto buatannya untuk umum pada 3
Januari 1981. Untuk menjual bandeng itu, Daniel dibantu istri dan ketiga pembantunya. Hari
pertama menjual bandeng, hanya terjual tiga ekor.
Toh, hal itu tidak membuat mereka patah semangat. Ketelatenan dan kesabaran Daniel dalam
berbisnis bandeng presto mulai membuahkan hasil: produk mereka mendapat sambutan positif.
Pembeli berdatangan dan makin banyak permintaan dari pelanggan.
Untuk membedakan bandeng presto buatannya dengan warung bandeng sejenis, Daniel memberi
nama Bandeng Juwana. “Saya tidak menyangka usaha bandeng presto ini bisa berkembang
seperti sekarang. Padahal, awalnya hanya menyalurkan hobi makan dan masak,†kata
Daniel.
Kini, Toko Bandeng Juwana selalu diserbu pelancong dari luar kota. Jika di hari pertama hanya
terjual tiga ekor sehari, sekarang tokonya mampu menjual sekitar 300 ekor bandeng per hari.
Sekarang, karyawannya sudah mencapai 100 orang. Sebagai toko oleh-oleh, Toko Bandeng
Juwana tidak hanya menjual bandeng presto, tapi juga ayam tulang lunak, wingko babat, dan
berbagai penganan kecil dan ringan khas Semarang dan Jawa Tengah. “Namun, bandeng
presto tetap menjadi produk utama kami,†Daniel menegaskan.
Selain Toko Bandeng Juwana, Daniel juga memiliki warung bandeng bernama Elrina yang
menawarkan berbagai menu masakan berbahan baku bandeng, yang bisa dimakan di tempat
ataupun dibawa pulang. Masakan yang ditawarkan Elrina yakni: tongseng bandeng, gudeg
bandeng, nasi goreng bandeng, pepes bandeng, bandeng teriyaki dan sate bandeng.
Hingga saat ini Daniel belum berminat berekspansi membuka Toko Bandeng Juwana di luar
Semarang. Padahal, tawaran dari mereka yang ingin menjadi mitra atau waralabanya sudah
banyak. “Saya tidak ada resep apa-apa. Saya sendiri bingung, kenapa orang kalau beli
bandeng presto selalu ke tempat kami. Padahal cara kami membuat bandeng presto sama dengan
toko bandeng presto lain,†Daniel memaparkan. Toh, dari perjalanan bisnisnya selama ini
ia bisa melihat kunci suksesnya, yang tak lain pada caranya melayani pembeli sejak memasuki
tokonya.
Tutut Handayani & A. Mohammad B.S.
Harpindo Jaya:
Juragan Yamaha dari Semarang
Nama Kang Giok Tik disebut-sebut sebagai salah satu legenda bisnis otomtotif di Jawa Tengah. Ia
adalah pendiri Harpindo Jaya (HP), jaringan showroom Yamaha terbesar di Ja-Teng.
Sekarang, HP telah memiliki 60 cabang ruang pajang Yamaha yang tersebar di kota-kota di Ja-
Teng dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari showroom itu, HP rata-rata bisa menjual motor
sebanyak 5 ribu unit per bulan. Tak heran, dengan penjualan sebanyak itu, HP dianggap sebagai
penguasa pasar motor Yamaha di Ja-Teng.
Kang Giok Tik pertama kali membuka usaha bisnis sepeda motor dengan nama Toko Harapan
Jaya, berlokasi di Jl. Dr. Cipto, Semarang. Di tangannya, motor Yamaha berkembang lumayan
cepat. Perkembangan yang cukup signifikan mulai dirasakan ketika dirinya dipercaya bekerja sama
dengan beberapa lembaga keuangan untuk pembiayaan secara kredit. Yang pertama kali
mengajak kerja sama adalah Bank Surakarta. Di tahun-tahun berikutnya, terjalin kerja sama
dengan Bank Perniagaan, Bank Dagang Nasional Indonesia (sudah ditutup), dan BCA.
Momentum perkembangan yang mengesankan terjadi pada 1989, setelah HP menjadi Yamaha
Centre pertama untuk wilayah Ja-Teng. Sejak itu, HP membuka cabang di beberapa kota kecil di
Ja-Teng.
Setelah Kang Giok Tik meninggal tahun 1987, manajemen HP dikelola generasi kedua hingga saat
ini. Kang Giok Tik memiliki 8 anak, tapi manajemennya kini dipegang lima anak lelakinya. Mereka
menjabat sesuai dengan kapasitas masing-masing. Tanto Soegito, anak ketiga, menjabat sebagai
direktur yang juga menangani bidang pemasaran, bersama adiknya, Taryo Subagiyo dan Tarjo
Sujiwo. Sementara dua adiknya yang lain, Tardi Suwarno menangani teknologi informasi,
sedangkan Taryo Sutikno memegang urusan keuangan dan bisnis suku cadang.
Menurut Tanto, ia bersama adik-adiknya sudah sepakat untuk membesarkan bisnis yang
diwariskan orang tuanya. Mereka tetap berusaha menjaga kekompakan dalam kondisi apa pun.
Kekompakan inilah yang membawa kemajuan besar bagi HP. Memang sejak masih kecil, Tanto
dan adik-adiknya sudah akrab dengan bisnis sepeda motor. Di luar jam sekolah, mereka pasti
membantu orang tuanya mengelola toko.
Meski sekarang HP sudah menjadi penguasa pasar Yamaha di Ja-Teng, Tanto mengaku tidak akan
terlena. Apalagi saat ini persaingan bisnis antar-dealer Yamaha sendiri kian ketat. Persaingan ini,
ia menambahkan, sengaja diciptakan pihak produsen dengan tujuan supaya masing-masing dealer
berlomba menjual Yamaha. †Kalau sampai terlena kami bisa ketinggalan,†kata
kelahiran 4 Januari 1958 ini.
Dalam upaya meningkatkan penjualan, HP juga terus membuka showroom barunya di kota-kota
yang dianggap strategis. Dalam waktu dekat ini bakal diresmikan showroom baru yang berlokasi di
Jl. Monjali, Yogya. Selain itu, akan dibuka pula gerai baru di beberapa kota di Ja-Teng.
Pembukaan showroom baru tersebut dimaksudkan untuk menjaga pertumbuhan perusahaan yang
ditargetkan rata-rata mencapai 10% per tahun. Selain membuka showroom baru, HP juga concern
untuk membuka bengkel servis. Ke depan, penghasilan dari jasa bengkel ini diharapkan menjadi
sumber pendapatan tersendiri. †Kami sedang menyiapkan bengkel-bengkel khusus
Yamaha, selama ini banyak showroom yang belum dilengkapi dengan pelayanan servis,â€Â
Tanto menuturkan.
HP juga tergolong rajin melakukan branding. Anggaran yang digelontorkan pun tergolong besar,
rata-rata Rp 5 miliar per tahun untuk program promosi, baik above the line maupun below the
line. Bahkan, saat ini HP memiliki kontrak kerja sama dengan televisi lokal di Semarang untuk
mengisi salah satu paket acara.
Selain menekuni bisnis motor, ternyata HP memiliki anak usaha yang bergerak di perdagangan
komputer dengan bendera Harapan Komputer. Bisnis ini ditangani adik kandung Tanto yang
bernama Tardi Suwarno. Puluhan gerai komputernya tersebar di Surabaya dan Semarang.
Gigin W. Utomo dan Dede Suryadi
Dewi Sri:
Melaju di Bisnis Transportasi Massal
Nama Dewi Sri dalam legenda Jawa dikenal sebagai sosok dewi yang melambangkan kemakmuran
di dunia cocok tanam padi. Namun, Dewi Sri yang satu ini lain. Ia menjelma menjadi ratu jalanan.
Ya, Dewi Sri ratu bus antarkota antraprovinsi (AKAP) yang didirikan oleh seorang wanita
Adalah Hj. Rukoyah, yang memberanikan diri merintis usaha bus PO Dewi Sri. Ia mengatakan,
kebutuhan ekonomilah yang menuntutnya bergelut di dunia usaha. Pendapatan suami sebagai
pegawai negeri sipil tak mencukupi untuk membesarkan 6 anaknya.
Awalnya Rukoyah berbisnis beras, tidak jauh dari asalnya sebagai keluarga petani. Beras yang
diambil dari daerah Bumiayu ini dijualnya ke beberapa daerah di luar Tegal termasuk Jakarta.
Selain itu, berasnya dipasok juga ke Dolog. “Omsetnya bisa 50 ton per hari,â€Â
ungkap wanita kelahiran Tegal 28 Oktober 1948 ini.
Tahun 1993, ia melihat ada peluang usaha di bidang otomotif, khususnya transportasi massal. Ia
pun mulai membuka trayek bus tiga perempat jurusan Tegal-Purwokerto. Merasa kurang puas,
dua tahun kemudian, ia mengembangkan sayap untuk mencoba yang lebih besar yaitu membuka
trayek bus AKAP, jurusan Jakarta-Tegal dengan 7 unit bus baru. “Modalnya sekitar Rp 850
juta per unit,†kata Rukoyah yang saat ini memiliki sekitar 100 unit bus AKAP yang siap
melayani penumpang dengan jurusan Tegal-Jakarta, Pekalongan-Jakarta, dan Purwokerto-Jakarta.
Menurutnya, kunci sukses dalam mengelola perusahaan bus ini adalah pelayanan untuk
penumpang. Dua hal yang perlu diperhatikan, sopir dan kendaraan.
Dia mengatakan, mengatur sopir itu gampang-gampang susah. Dari segi pekerjaan kelihatan
gampang, tapi mengatur agar mereka disiplin tidak mudah. “Maklumlah, rata-rata mereka
tidak mengenyam pendidikan tinggi,†ujarnya tentang 400 sopir yang dibawahkannya.
Harus ada aturan perusahaan yang ketat dan kontrol dari manajemen. “Aset kami sopir ini.
Kalau mereka tidak bisa dikendalikan, sering ngompreng membuat penumpang kecewa,â€Â
lanjutnya.
Selain sopir, kenyamanan penumpang dipengaruhi oleh faktor kendaraan itu sendiri. Untuk itu,
Rukoyah selalu memilih bus-busnya dengan kualitas yang bagus seperti Mercy dan Volvo. Untuk
perawatan kendaraan, selain memiliki tim maintainance, ia juga terjun langsung untuk melihat
kekurangannya sehingga bisa langsung diperbaiki atau diganti dengan yang baru. Ia berusaha
terus melakukan peremajaan untuk membuat bus-busnya tampak sedap dipandang dan nyaman
saat di jalan.
Sekarang, istri H. Ismail ini tidak terlalu banyak mengurusi secara operasional perusahaannya. Ia
telah memercayakan Dewi Sri dan unit bisnis yang lain seperti pom bensin dan rumah makan pada
anak-anaknya. Untuk pom bensin omsetnya 30 ton per hari, sedangkan rumah makan dikelola
mandiri oleh anak pertamanya, Sri Sakti Handayani. Adapun Ikmal Jaya, yang semula menjabat
Dirut PO Dewi Sri digantikan oleh kakaknya, Edi Utomo. Ikmal kini Walikota Tegal terpilih periode
2009-2014.
Tahun 2003, ekspansi usaha yang lain dari Dewi Sri yaitu feeder bus TransJakarta yang melayani
dua rute: BSD City-Pondok Indah-Ratu Plaza-Plaza Senayan, dan BSD City-Kota-Mangga Dua.
“Kira-kira ada 40 unit, omsetnya Rp 800 ribu per hari untuk Serpong Citra Raya, dan Rp
500 ribu per hari untuk Citra Indah,†ujar wanita yang hobi senam ini. Rencananya
perusahaan ini juga ingin masuk ke lini busway, tapi kalah tender dengan Lorena. “Belum
rezekinya. Mungkin lain kali kami yang dapat.â€Â
Moh. Husni Mubarak dan Taufik Hidayat
Pringsewu Restaurant Group:
Berhasil Karena Peduli SDM
Sebelum menekuni bisnis kuliner, Agus Hadyanto adalah pengusaha furnitur yang memasok
produknya ke sejumlah toko mebel di berbagai kota di Jawa Tengah. Namun, belakangan ia
terpincut berbisnis rumah makan setelah melihat kinerja restoran Mie Pasar Baru milik istrinya.
†Saya tertarik karena bisnis rumah makan memberi keuntungan yang menarik,â€Â
ungkap pria kelahiran 28 Agustus 1948 yang menekuni bisnis kuliner sejak 1997 ini.
Kini, di bawah manajemen Pringsewu Restaurant Group (PRG), Agus memiliki 9 resto, antara lain
Resto Pringsewu di Pemalang, Yogyakarta dan Surakarta, serta Resto Pringjajar dan Kabayan. Di
luar itu, keluarga Agus juga memiliki empat resto dengan menu spesial mi di bawah manajemen
Mie Pasar Baru Jakarta Group (MPBJ), yang berlokasi di Tegal, Yogya dan Solo.
Pada 2009, jumlah resto yang dikelola bapak dua anak ini akan segera bertambah dua, dengan
pembukaan unit resto di Purbalingga dan Sumpiuh, Ja-Teng. Lokasi resto di Purbalingga
berdekatan dengan kawasan objek wisata Owabong. †Persiapannya sudah 90%, dan
musim liburan ini beroperasi,†kata Agus.
Menurut pria berkacamata ini, jika hanya mengejar target, sebenarnya dia bisa membuka cabang
sebanyak-banyaknya dengan sistem waralaba. Akan tetapi, dia tak mau melakukannya dengan
alasan ketidakkesiapan SDM. Padahal, banyak pihak yang mengajaknya bekerja sama membuka
resto dengan bendera Pringsewu.
Sebagai pemilik PRG dan MPBJ, suami Elly Yuliana ini terus berusaha bisa membuka resto-resto
baru. Namun, dia tidak ingin melakukannya dengan tergesa-tergesa. Dia lebih senang dengan
prinsip alon-alon waton kelakon. Karena itulah, kini dia menargetkan hanya meluncurkan satu
rumah makan baru per tahun.
Bagi Agus, rumah makan termasuk bisnis jasa. Kalau tidak bisa mengelola dengan manajemen
yang baik, pasti tidak akan berkembang. Kunci keberhasilannya adalah SDM. †SDM
memiliki peran vital bagi maju-mundurnya perusahaan,†ujarnya tandas. Perusahaannya
saat ini menerbitkan dokumen Internal Quality Service (IQS), yakni sistem yang mengatur
kesejahteraan karyawan dan berbagai hak karyawan (dari gaji yang layak, tunjangan hari tua,
kesehatan, karier hingga kesempatan liburan).
Menurut Agus, pembuatan IQS merupakan bentuk keseriusan manajemen agar karyawan bekerja
secara tenang dan nyaman di lingkungan PRG. Dia meyakini, jika dipuaskan oleh perusahaan —
yang antara lain berkaitan dengan suasana kerja, jaminan masa depan, jaminan karier dan
kesehatan — karyawan akan merasa dihargai. †Jika mereka bangga dan senang, mereka
akan termotivasi untuk bekerja sebaik mungkin.â€Â
Selain IQS, perusahaan menyisihkan 5% dari pendapatannya untuk dibagi ke karyawan, sebagai
pemberian tunjangan hari tua dan tunjangan kesehatan untuk keluarga karyawan. Bahkan,
karyawan juga diberi kesempatan menambah penghasilan dengan menjual produk/jasa tertentu di
rumah makan, seperti cenderamata dan jasa pijat listrik. Menurut Agus, menciptakan suasana
kerja yang kondusif merupakan program yang terus dibangun di lingkungan PRG. Untuk itu, pihak
manajemen mengadakan pertemuan rutin dengan karyawan yang bertujuan menampung berbagai
keluhan. Apabila tidak berani mengungkapkan secara terbuka, karyawan bisa menulis keluhan
tersebut. †Di sini karyawan boleh ngomel ke manajernya. Selanjutnya, manajer juga
boleh ngomel ke direkturnya,†ujar Agus. Menurut Totok Sutrisno, karyawan yang
dipercaya mengelola SDM, sebagai pengusaha, Agus sangat egaliter. †Ia tidak alergi
dikritik dan sangat menghargai ide-ide karyawan,†kata Totok.
Yang menarik, setelah pensiun nanti, Agus tidak akan menyerahkan manajemen PRG ke anakanaknya.
Alasannya, ia sudah percaya dengan manajemen yang sudah ada selama ini.
†Terus terang, walau ini (perusahaan ) keluarga, tapi tak ada satu pun yang terlibat di
dalam manajemen. Semua diserahkan kepada profesional yang rata-rata fresh graduate,â€Â
ujar Agus bangga.
Karena itulah, Agus tidak resah ketika kedua anaknya menyatakan tak berminat membantu
mengurus bisnis ayahnya. Maklum, kedua anaknya sudah memiliki aktivitas masing-masing. Anak
pertamanya, Budi Hardyanto (32 tahun), telah asyik dengan bisnis selulernya, dan kini merupakan
salah satu dealer Telkomsel terbesar di Ja-Teng. Adapun anak keduanya, Ivon, ikut suaminya
yang merupakan pemilik toko emas.
Yuyun Manopol & Gigin W. Utomo
Karya Toha Putra:
Raja Percetakan Al Quran
dari Semarang
Salah satu perusahaan legendaris di Semarang adalah PT Karya Toha Putra (KTP). Perusahaan ini
secara konsisten menerbitkan kitab suci Al Quran sejak tahun 1960-an, didirikan oleh Yasid Toha.
Saat ini KTP yang produknya diekspor hingga ke Arab Saudi, dikelola generasi kedua.
Presdir KTP, Hasan Toha Putra, mengungkapkan, dari dua percetakan KTP di Semarang, tiap bulan
rata-rata mampu mencetak Al Quran sekitar 200 ribu kitab dalam berbagai model dan ukuran.
Dengan omset sebesar itu, Hasan mengklaim KTP sebagai pemimpin pasar penerbitan Al Quran di
Indonesia dengan pangsa pasar 30%.
“Yang pasti, setiap ada krismon atau krisis global, permintaan Al Quran justru makin tinggi
di pasaran,†ujar peraih gelar MBA dari Bridgeport University di Connectitut, Amerika
Serikat ini. Hasan bersyukur karena masyarakat yang dilanda masalah, pelariannya ke hal-hal
positif dengan mencari kedamaian melalui baca Al Quran.
Dari Semarang, Al Quran itu kemudian didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia. Baik lewat
jaringan toko buku Toha Putra, maupun lewat toko-toko pustaka lainnya. Untuk menyebarkan
kitab suci dan buku-buku Islam lainnya, KTP membuka kantor cabang yang tersebar di 22 kota di
Indonesia â€â€oe dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi.
Selama ini KTP memang identik sebagai penerbit Al Quran. Namun, sebenarnya, perusahaan ini
juga menerbitkan buku-buku agama populer, bahkan banyak yang best seller. Salah satu
contohnya adalah buku berjudul Kedahsyatan Fathihah. Tak hanya itu, KTP dikenal pula sebagai
penerbit buku pelajaran sekolah madrasah dari tingkat diniyah hingga aliyah.
Pengusaha kelahiran 10 Oktober 1955 ini menjelaskan, sebagai holding KTP tetap dipertahankan
sebagai penerbit Al Quran ternama. Sementara buku lainnya diterbitkan oleh anak perusahaan
KTP, antara lain, Pustaka Rizky Putra, Pustaka Nun dan Pustaka Wildan.
Kehadiran generasi kedua banyak membawa kemajuan bagi KTP. Berbagai terobosan mulai dari
produksi hingga pemasaran lahir dari generasi muda ini. Inovasi yang cukup penting adalah
diterbitkannya kitab Al Quran dengan model-model baru yang lebih variatif. Sebelumnya, Al Quran
yang diterbitkan masih berupa kitab standar, baik bentuk maupun ukurannya. Lazimnya, kertas
masih menggunakan jenis CD dengan warna kecokelatan atau putih. Lalu Hasan melakukan uji
coba, sehingga lahirlah Al Quran yang berukuran besar, kecil, bahkan seukuran saku dengan
pilihan warna kertas yang beragam. Menariknya lagi, dilengkapi dengan terjemahan bahasa
Indonesia, Jawa, dan lainnya.
Di luar dugaan, gebrakan produk kitab suci itu diminati pasar. Omsetnya pun terus meningkat,
sehingga laba perusahaan naik tajam. Tak berlebihan, bila dikatakan bahwa tahun 1980-an
menjadi tonggak bersejarah dalam perjalanan bisnis KTP. Sebab, pada dekade inilah KTP
membuka cabang di berbagai kota, baik untuk toko buku maupun distribusi.
Dengan komitmen menghasilkan cetakan yang baik, perusahaan ini terus melakukan investasi
dengan membeli mesin-mesin cetak yang canggih. Selain mesin cetak yang berkapasitas besar,
dibeli pula mesin penjilidan otomatis.
Eva Martha Rahayu/Gigin W. Utomo
Sinar Mutiara Shuttlecocks:
Juragan Shuttlecock Asal Tegal
Orang-orang Tegal dikenal mahir membuat shuttlecock. Keahlian itu merupakan warisan turuntemurun.
Tak heran, di Tegal khususnya di Desa Lawatan, Dukuhturi, banyak dijumpai pabrik dan
home industry bola bulutangkis itu. Beberapa merek shuttlecock terkenal dihasilkan dari Tegal,
seperti Garuda, Gajahmada dan Superman. Dan, PT Sinar Mutiara Shuttlecocks (SMS) merupakan
salah satu pemain bisnis shuttlecock yang patut diperhitungkan.
Bambang Siswanto merintis berdirinya SMS tahun 1982. Namun, ia mulai serius menekuni bisnis
bola bulutangkis itu pada 1987. Ia kepincut menjajal bisnis itu lantaran melihat sang ayah yang
tekun sebagai perajin shuttlecock. “Dari obrolan dengan karyawan Ayah, saya tertarik
memproduksi shuttlecock yang kualitasnya lebih baik. Caranya, saya membeli bulu bebek yang
mutunya bagus,†cerita mantan juara bulutangkis single putra se-Jawa Barat pada 1980
ini. Dan merek perdana yang diluncurkan adalah Sinar Mutiara.
Kemenangan tim Thomas Cup tahun 1984 membuat produsen shuttlecock panen. SMS juga
ketiban rezeki nomplok dari ajang pertandingan bulutangkis bergengsi itu. Kala itu semua jenis
shuttlecock mulai dari yang murah sampai mahal laku keras. Produk SMS pun banyak terjual di
Jakarta dan Bandung. Penjualan barang terbanyak datang dari toko-toko olah raga ketimbang
Gedung Olah Raga.
Tingginya permintaan konsumen, mau tidak mau mendorong SMS untuk meluaskan area produksi.
Maka, tahun 1987 dibangunlah pabrik SMS seluas kira-kira 17 x 20 meter dan dilengkapi dengan
hall untuk lapangan badminton. Dengan pabrik baru yang mempekerjakan 28 karyawan, kapasitas
produksi naik menjadi 50 slop atau 600 biji per hari (1 slop = 12 biji).
Dalam perkembangannya, meski pabrik telah diluaskan, tidak mampu memproduksi barang sesuai
dengan kebutuhan pasar. Solusinya, Bambang menerapkan pola kemitraan: bapak angkat untuk
home industry. Saat ini SMS mempunyai lima anak binaan. Tiap anak binaan diberi modal kerja
untuk produksi setengah jadi. Begitu sampai di pabrik SMS, produk itu memasuki tahap quality
control dan finishing. Masing-masing anak binaan memberi kontribusi produksi 30-50 slop saban
hari.
Untuk pengembangan merek, selain Sinar Mutiara, SMS memperkenalkan sejumlah merek baru.
Namanya Saporete dan Idola. Jika merek Sinar Mutiara kuat di Jakarta, Saporete eksis di
Bandung. Ketiga merek itu dikembangkan menjadi sekitar 30 jenis shuttlecock berdasarkan
kualitas. Katakanlah brand Sinar Mutiara diluaskan menjadi 12 merek, antara lain: Sinar Mutiara
King Smas dan Sinar Mutiara Christian. Kedua merek ini hasil kerja sama dengan Liem Swie King
dan Christian Hadinata sejak tahun 2008. Sementara Saporete diluaskan menjadi 8 merek,
sedangkan Idola dikembangkan dalam tiga merek untuk kelas bawah.
Pertimbangan Bambang mendiversifikasi merek dalam beberapa kelas, karena mutu bulu
bebeknya juga bervariasi. Semakin muda mutu bulu bebeknya, seri kualitasnya pun diurut dari
nomor satu, dua, tiga dan seterusnya. Umpamanya, bola badiminton nomor satu tentu kualitas
bulunya paling bagus dan enak digunakan. Sekadar informasi, harga shuttlecock Sinar Mutiara dan
Saporete berkisar Rp 37-60 ribu per slop. Sementara merek Idola dibanderol Rp 15-30 ribu per
slop.
Dengan beragam merek, SMS mampu memenuhi kebutuhan pasar lebih luas. Alhasil, pemasaran
shuttlecock SMS tidak hanya di Jakarta dan Bandung, tapi juga menjangkau ke wilayah luar Jawa,
seperti Batam, Palembang dan Medan. “Kami juga memproduksi shuttlecock pesanan dari
Batam sebanyak 50 dus per bulan (1 dus = 50 slop) dengan merek Platinum,†ungkap
laki-laki kelahiran 11 Februari 1957 ini.
Produk SMS bisa dikenal di banyak daerah, karena promosi ke toko-toko olah raga yang memiliki
jaringan klub bulutangkis. Selain itu, ia ikut langsung bermain badminton di lapangan untuk
mencoba merek-merek shuttlecock yang dibesutnya. “Kami pun mulai memikirkan untuk
menjadi sponsor beberapa pertandingan bulutangkis di Jakarta dan Bandung, semisal Sinar
Mutiara Cup,†kata Bambang yang mengaku kunci sukses bisnisnya bertumpu pada dua
hal: mengikuti selera konsumen dan didukung anak binaan perusahaannya.
Terkait dengan regenerasi SMS ke depan, Bambang telah melibatkan dua dari lima anaknya.
Masing-masing adalah Rudi Hartono Siswanto (24 tahun) dan Victor Hartono Siswanto (22 tahun).
“Ini harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya, karena shuttlecock merupakan bisnis
kebanggaan masyarakat Indonesia,†ujar bos yang kini membawahkan 200 karyawan itu.
Eva Martha Rahayu/Darandono
Batik Wirokuto
Generasi ke-4 yang Makin Eksis
Tidak salah Pekalongan menyandang julukan Kota Batik. Museum batik nasional saja ada di kota
ini, bukan di Yogyakarta atau Solo. Kalau mau masuk ke Pekalongan, baik di kabupaten ataupun
kotanya, pengunjung yang melewati jalur pantai utara akan menjumpai banyak galeri batik, dari
yang kecil hingga yang skala butik mewah. Salah satu butik yang besar dan terkenal adalah Batik
Wirokuto milik Romi Oktabirawa.
Berdasarkan silsilah keluarga, Romi termasuk generasi keempat yang menjadi pengusaha batik.
Kakeknya merupakan salah satu perajin batik di Kota Pekalongan, begitu juga bapaknya.
„Brand Batik Gentereyel adalah milik kakek saya dan Batik Geger milik Bapak
Saya,“ ujar Romi.
Lahir dari keluarga seni, Romi membuat dan memunculkan merek tersendiri, Batik Wirokuto, pada
1996. „Proses belajar batik saya lakukan dengan mulai mempelajari motif-motif batik
kuno, juga motif modern,“ katanya. Dari situlah ia mulai meredifinisi motif, warna dan
desain dalam implementasi pembuatan batik.
Usaha batiknya memiliki kapasitas produksi hingga 5.000 kain/bulan. Di bengkel kerjanya yang
mempekerjakan 100 perajin, Romi mampu memproduksi sekitar 1.000 kain/bulan, sisanya yang
4.000 kain ia alihdayakan ke pengusaha lain. Untuk memasarkan batiknya, ia memiliki tiga galeri,
yaitu butik pusat di Wiradesa, Kab. Pekalongan, butik di Kota Pekalongan, dan satu lagi di
Pasaraya Jakarta. Dari jumlah yang ia produksi, 50% untuk memenuhi permintaan domestik dan
sisanya diekspor ke Jepang berdasarkan pesanan. Selain selendang dan kemeja, Wirokuto sering
pula membatik kimono untuk memenuhi pesanan dari Jepang dan baju barong (pakaian
tradisional), pesanan dari Filipina.
Moh. Husni Mubarak
Strategi Pengusaha Jawa Tengah Membesarkan Bisnis
Posted By admin On January 8, 2009 @ 12:00 am In Sajian Utama
Grup Pisma
Dari Kain Sarung sampai Agrobisnis
Siapa tak kenal sarung cap Gajah Duduk? Hampir semua orang mengenali merek ini. Namanya
melegenda sebagai sarung tenun pria. Terutama menjelang Idul Fitri, iklan sarung ini seperti
menjadi tontonan wajib di layar kaca, saking sering munculnya.
Walaupun Gajah Duduk sangat terkenal, tak banyak yang tahu siapa di belakang merek tersebut.
Adalah PT Pismatex, perusahaan tenun kawakan — berdiri tahun 1972 â€â€oe yang kini
didukung tak kurang dari 7.000 karyawan dengan omset di atas Rp 1 trilun/tahun, produsen
sarung tersebut. Pismatex merupakan bagian dari Grup Pisma yang saat ini tak hanya menekuni
bidang tenun, tapi juga merambah ke bisnis-bisnis lain.
Ghozi Salim (alm.) adalah yang pertama kali membangun Pismatex. Pria berdarah Arab ini
mendirikan pabrik di kawasan Bligo, Buaran, Kabupaten Pekalongan, yang berkembang hingga
sekarang — mencapai posisi sebagai pemimpin pasar di bisnis kain sarung.
Sayangnya, tahun 1992 Ghozi dan salah seorang putranya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas
sehingga Pismatex kehilangan sosok pemimpin perusahaan. Tak ada pilihan lain, putra sulung
Ghozi, Jamal Ghozi, yang tengah berada di Jepang, akhirnya dititahkan melanjutkan bisnis
keluarga ini. †Tidak ada lagi yang meneruskan karena saudara yang lain
perempuan,†ujar Jamal, anak sulung dari empat bersaudara itu. Setelah menamatkan
pendidikan di Shinshu University, Nagano, Jepang, Jamal memang tidak langsung pulang ke
Indonesia. Ia membuka perusahaan perdagangan di kota yang berjarak 120 km dari ibukota
Jepang, Tokyo. Tak jauh dari bisnis keluarganya, ia memilih bisnis perdagangan tekstil.
Panggilan keluarga untuk segera mengurus Pismatex membuat Jamal harus meninggalkan bisnis
tekstilnya di Jepang. Akan tetapi, tak ingin serta-merta melupakan Negeri Sakura, ia justru
mendirikan perusahaan trading baru di luar bidang tekstil, yakni electronic support. Dengan
demikian, ia masih sering bolak-balik Indonesia-Jepang.
Bisnis baru tersebut sebenarnya tak jauh dari usaha baru yang dikembangkan ayahandanya.
Sebelum wafat, Ghozi sempat mendirikan usaha patungan dengan perusahaan asal Jepang, KMK
Industrial Co. Ltd., yakni PT KMK Plastics Indonesia, yang bergerak di industri komponen
elektronik, khususnya plastik dan moulding. Perusahaan ini terus berekspansi dengan membangun
PT KMK Precision Indonesia yang fokus pada manufaktur molding dan reconditioning.
Tahun 1993 mulailah Jamal berkiprah di Pismatex. Ia pun melakukan berbagai pembenahan. Di
antaranya, memperbarui dan menambah mesin-mesin untuk proses produksi. Ia mendatangkan
mesin-mesin tekstil baru dari Jepang dengan teknologi mutakhir. Mesin yang tadinya hanya 200
unit ditambah hingga menjadi 1.400 unit. Karyawan pun melonjak drastis hingga 4.000 orang.
†Yang dibutuhkan adalah inovasi. Pada saat itu kesempatan masih bagus,â€Â
ujarnya. Investasi terus dilakukan secara bertahap hingga 1997, sebelum krisis ekonomi datang.
Jamal mengatakan, di bisnis tekstil, tak ada patokan baku tentang besaran investasi agar bisa
menjadi perusahaan tekstil yang terintegrasi. †Investasi Rp 1 miliar atau Rp 1 triliun juga
bisa, hanya beda skala,†katanya. Bahkan, menurutnya, investasi sebesar Rp 1 triliun
tidak cukup untuk membuat pabrik tekstil terintegrasi.
Pismatex saat ini sudah menjadi pabrik tekstil terintegrasi. Perusahaan mampu melakukan proses
pembuatan benang (spinning), pembuatan kain (weaving), penyempurnaan kain (finishing),
pewarnaan (dyeing) hingga menjadi produk garmen. Ekspansi di bisnis tekstil ini terwujud dengan
didirikannya pabrik spinning, PT Pisma Putra Tekstil, tahun 2000. Pabrik ini membuat berbagai
macam benang, mulai dari polirayon, poliester, rayon hingga katun. †Awalnya memang
untuk Pismatex, tapi akhirnya juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan benang dalam negeri
maupun luar negeri, seperti Jepang, Eropa dan Amerika Latin. Jumlahnya hanya 20% yang
ekspor,†ujar Jamal yang lahir tahun 1960. Perusahaan ini memiliki kapasitas produksi
4.000 bal/bulan.
Selain sarung, Pismatex juga memproduksi baju Muslim dan kain untuk baju. Target pasarnya,
30% ekspor ke negara-negara Timur Tengah. Meskipun begitu, produknya bisa sampai ke negaranegara
Afrika karena produk yang diekspor ke Dubai dan Jeddah bukan hanya untuk pasar lokal di
sana, tetapi diekspor lagi ke Afrika. Hanya saja, merek yang digunakan bukan Gajah Duduk, cukup
†Made in Indonesia, Pismatex†. †Negara Afrika atau Middle East tidak
mau merek binatang, anti,†kata suami Azza Dina itu. Sarung Gajah Duduk juga diekspor
ke Malaysia, Thailand dan Brunei.
Saat ini, setiap bulan Pismatex mampu menghasilkan 1 juta lembar kain sarung. Jumlah tersebut
sudah termasuk dari produksi mitra usahanya di Pekalongan. †Tidak semua produk kami
produksi sendiri, sebagian juga diberi ke beberapa orang, Mereka adalah mantan karyawan kami
yang sudah pensiun. Mereka kami bekali pekerjaan agar mandiri,†tutur Jamal.
Selain karena ada kesempatan, kunci sukses Gajah Duduk, menurut Jamal, juga karena
keberanian perusahaannya dalam mendatangkan mesin-mesin baru dan membangun merek.
Menurutnya, mengelola merek bukan hal mudah. †Membangun merek tidak gampang,
harus berinvestasi untuk membangunnya, seperti memelihara anak, harus diberi makan,
disekolahkan di tempat yang bagus agar pintar,†kata pria asal Surabaya itu.
Kini, bisnis tekstil memberi kontribusi 40% terhadap total pendapatan Grup Pisma yang menurut
Jamal sudah mencapai Rp 1 triliun lebih. Bisnis elektronik memberi kontribusi 30%. Selebihnya
berasal dari bisnis properti dan toiletries.
Di bisnis elektronik, selain PT KMK Plastic Indonesia dan PT KMK Precision Indonesia, Grup Pisma
pun memiliki PT J-Tech Manufacturing of Indonesia (J-Tech) yang didirikan tahun 2003. Ini
merupakan perusahaan pendukung industri elektronik yang 90% target pasarnya adalah Jepang.
J-Tech berdiri pada Oktober 2002. Sebelumnya, perusahaan ini memiliki pabrik di Cileungsi,
Bogor. Namun, pada April 2005 pabriknya dipindah ke Karawang, dengan perlengkapan mesin
yang lebih representatif. Pabrik seluas 1,8 hektare itu memproduksi komponen telepon seluler.
Perusahaan ini memproduksi perangkat mobile phone dan fixed wireless phone. Selain itu, J-Tech
memproduksi 200 komponen elektronik lainnya seperti telepon rumah, printer, transformer pocket
dan motor. “Kalau dukungan industri tidak bicara kapasitas produksi, tergantung
order,†ujar Jamal. Sejumlah perusahaan kelas dunia seperti Panasonic, Sanyo, Sony
Aiwa, Epson, Moric dan Shinetsu sudah masuk dalam daftar pelanggan perusahaan ini.
Tahun 2004, J-Tech membentuk usaha patungan dengan PT Inti, yaitu dengan mendirikan PT Inti
Pisma Internasional, yang memproduksi ponsel CDMA dengan merek Nexian. Tahun 2006 Nexian
berhasil mencatatkan diri di Museum Rekor Indonesia sebagai ponsel pertama dan satu-satunya
yang dirakit di dalam negeri, sekaligus juga yang berhasil memproduksi 100 ribu unit ponsel
dalam kurun 6 bulan.
Selain tekstil dan elektronik, Grup Pisma juga menaungi PT Malidas Sterilindo, perusahaan
manufaktur pihak ketiga untuk produk kecantikan dan toiletries. Sejak 1996, perusahaan yang
terletak di Sidoarjo ini menghasilkan produk Johnson & Johnson untuk bayi dan dewasa. Ada juga
perusahan yang fokus di bidang distribusi farmasi dan peralatan kesehatan, yaitu PT Pisma
Medica, yang berdiri pada 2005.
Di bisnis pengembang properti, grup ini memiliki PT Pisma Gajah Putra Realestate, yang lokasi
proyek-proyeknya ada di Pekalongan. Perusahaan ini membuat rumah hunian Pisma Griya Permai
I (total 552 unit) di Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan, di atas lahan 9,2 ha. Ada juga Pisma
Griaya Permai II yang didirikan di atas tanah seluas 5 ha di Desa Wiradesa, Kab. Pekalongan.
Jamal mengatakan, kunci sukses sebagai wirausaha adalah harus selalu memiliki jiwa optimistis
dan tidak mudah menyerah. Selain itu, juga punya keberanian untuk terjun ke dunia bisnis.
Manusia diciptakan sempurna, sekarang tinggal bagaimana memanfaatkan karunia Tuhan itu.
Berdasarkan pengalaman, akan didapat insting bisnis yang bagus. †Seperti apa pun
melakukan perhitungan dan sepintar apa pun orangnya, risiko rugi pasti ada,†ujarnya
menegaskan.
Meski sempat tertunda karena krisis ekonomi global saat ini, tahun depan Grup Pisma akan
melakukan ekspansi di bidang agrobisnis, yaitu pupuk dan bioetanol. Jamal akan menanamkan
investasinya ini, lagi-lagi, di Jawa Tengah. †Kenapa Ja-Teng, kalau tidak Ja-Teng, nanti
saya dimarahi Pak Bibit,†ujarnya sembari tertawa ringan. Orang yang dikenal dekat
dengan Bibit Waluyo, Gubernur Ja-Teng, ini mengatakan, ada keinginan untuk meng-go public-kan
salah satu perusahaannya. †Tidak tahu yang mana dulu, apa yang elektronik atau
tekstilnya, namun banyak orang yang mengharapkan tekstilnya karena produknya sudah punya
brand,†kata pehobi traveling ini.
Taufik Hidayat dan Moh. Husni Mubarak
Bintang Putra Mobilindo:
Raja Mobil Honda di Solo
Di Kota Solo, Jawa Tengah, hanya ada dua dealer resmi mobil Honda: Honda Bintang yang ada di
Jl. Brigjen Slamet Riyadi 181, dan Honda Solo Baru di Jl. Raya Solo Baru. Meski beda nama dan
tempat, kedua dealer ini pemiliknya satu, di bawah payung PT Bintang Putra Mobilindo. Pemiliknya
adalah suami istri Handoko dan MHM. H. Kristianti.
Prestasi yang diraih kedua dealer itu tergolong ciamik. Penghargaan Best Performance dari PT
Honda Prospect Motor di tahun 2004 dan juga juara I untuk Quick Service tingkat regional tahun
2008 telah diraih. Tak hanya itu, penjualan unit kendaraan yang dijajakannya pun tak pernah sepi
dari tahun ke tahun, malahan selalu melebihi target. Misalnya pada 2007, dealer Honda Solo Baru
menargetkan penjualan 293 unit, tapi realisasinya mencapai 312 unit. Kondisi serupa juga berlaku
di Honda Bintang yang realisasinya mencapai 330 dari target 311 unit.
Dealer milik Kristianti ini dijadikan agen tunggal Honda sejak 1997. Saat itu menjelang krisis
moneter, ia baru memiliki satu dealer mobil, yaitu Honda Bintang. Belum sempat mengecap
manisnya berbisnis mobil Honda, Solo dilanda kerusuhan pada 2008. Tak heran, dari Mei sampai
Agustus 1998, Honda Bintang sempat berhenti. Namun, petinggi Honda Prospect Motor, Ang Kang
Hoo, menyemangati dirinya untuk bangkit kembali. “Waktu itu kami dikirimi mobil,
termasuk kendaraan operasional,†tutur Kristianti mengenang.
Alasan lainnya Kristianti membuka dealer-nya kembali, karena menurut catatan, sedikitnya
terdapat 300-an unit mobil yang dibakar saat kerusuhan itu. “Orang kan butuh alat
transportasi juga. Jadi saya putuskan untuk membuka dealer mobil lagi,†ia
mengungkapkan, “Meskipun waktu itu daya beli konsumen belum meyakinkan.â€Â
Pasalnya, pelanggan masih waswas mengenai keamanan. “September mulai buka, kami
bisa jual 6 unit,†ujarnya menambahkan.
Untuk mengembalikan gairah pasar, ia memperpanjang warranty claim. Misalnya, di bidang servis
yang biasanya hanya 10 ribu km atau tiga bulan, bisa sampai satu tahun servis gratis. Selain itu,
ia juga menurunkan bunga kredit serta insentif dan bonus bagi pembeli. Diyakini Kristianti,
penjualan sangat terbantu dengan metode ini.
Nah, pada 1999 ia membuka outlet baru di kawasan Solo Baru (Kabupaten Sukoharjo). Pasarnya
cukup besar, karena banyak penduduk kelas menengah-atas yang tinggal di wilayah ini. Makanya,
dealer dan bengkel yang ada di sini lebih besar, yakni seluas 4.200 m2. Dealer baru ini diserahkan
sepenuhnya pada anak pertamanya, Edwin Nugroho. “Penjualan Honda per tahun cukup
menggembirakan sejak outlet ini dibuka. Bahkan penjualannya selalu melebihi target,â€Â
Edwin menambahkan.
Sejatinya, kesuksesan ini tak diraih dalam sekejap. Kristianti menuturkan, cikal bakal bisnisnya itu
dimulai sejak 1972. Saat itu, ia bersama suaminya, Handoko, mencoba peruntungan dengan
meneruskan usaha jual-beli mobil milik mertuanya. Sebagai anak tunggal, suami Kristianti
diharuskan melanjutkan bisnis bapaknya (L. Anwar). Menurutnya, sang mertua itu cukup disegani
di bisnis mobil Kota Solo.
Yang dijual waktu itu tak hanya mobil bekas, tapi ada pula mobil baru. Hanya saja, ketika itu
belum ada showroom khusus yang dimanfaatkan untuk memajang dagangannya. Bahkan, bengkel
untuk perbaikan mobil pun belum punya. Perlahan tapi pasti, perusahaannya bernama Star Motor
mulai mekar
Nah, Dewi Fortuna mulai menghampirinya pada 1974. Saat itu PT Astra International menunjuk
dealer milik Kristianti ini menjadi dealer resmi Daihatsu, Peugot dan Renault. Alasannya, di
samping Astra di Semarang belum buka, juga prestasinya dinilai lumayan untuk penjualan mobil di
Solo. Selain itu, pasar truk di Solo juga sedang booming. Apalagi, merek Daihatsu saat itu sedang
merajai. Sewaktu ditunjuk oleh Astra inilah peralatan perbengkelannya bertambah. Astra,
disebutkan Kristianti, memberikan pula semacam kredit untuk pengadaan alat perbengkelan.
“Pengetahuan saya tentang otomotif juga bertambah karena sering mengikuti training yang
diadakan Astra,†tutur kelahiran Kutoharjo 16 Maret 1948 ini.
Namun, masa keemasannya dengan Astra ini segera berakhir ketika Astra akhirnya membuka
authorized dealer sendiri di Kota Solo sekitar tahun 1985 dan selanjutnya di Semarang. Setelah
putus dengan Astra, Star Motor menjadi agen tunggal penjual mobil Ford di Solo. Hanya saja,
karena merek Ford dinilai kurang laku, Kristianti pun kembali menjual berbagai merek mobil
hingga akhirnya dipinang Honda.
Dede Suryadi dan Sigit A. Nugroho
Grup Sambas
Jaringan Bisnisnya Menyerap 500 Karyawan Lebih
Keluarga Sambas bisa dibilang salah satu ikon Kota Purbalingga. Maklum, jaringan bisnis keluarga
ini lumayan luas, seperti kontraktor (general contractor), pengolah hotmix, alat berat, bahan
bangunan, minimarket Alfamart, optik, toko emas, bengkel mobil, SPBU, percetakan dan
pendidikan (sekolah Islam modern terpadu). Semua usaha itu di bawah payung Grup Sambas
yang mempekerjakan sekitar 500 karyawan. Hebatnya, kiprah bisnis ini tidak sebatas di
Purbalingga, tapi juga merambah ke Purworejo, Cilacap, Banjarnegara, serta kabupaten lain
sekitar Banyumas. Tak mengherankan, masyarakat setempat menjuluki keluarga ini sebagai
“wong sugih†-nya Purbalingga.
Nama Sambas bukan asal comot. Nama itu terkesan menyiratkan keluarga itu berasal dari
Kalimantan. Padahal, Sambas yang ini bukanlah sebutan klan, melainkan singkatan Suchari Adi
Mulyo Asli Banyumas. Dan, Suchari Adimulyono (alm.) adalah orang yang membidani bisnis
keluarga itu pada 1970-an. Kemudian, anak-anaknya membesarkan perusahaan hingga menjadi
konglomerat daerah.
Sejak awal, pengelolaan bisnis Grup Sambas telah melibatkan generasi kedua. Mereka terdiri atas
7 kakak-beradik, dua di antaranya adalah Widji Laksono dan Eling Purwoko. “Sebenarnya
kendali Grup Sambas dipegang oleh Mas Eling, tapi beliau akhir-akhir ini banyak bergerak di
bidang sosial. Saya baru bergabung dengan perusahaan pada 1993. Jadi, lima tahun belakangan
saya lebih banyak berperan, †ujar Widji, Direktur Grup Sambas, menjelaskan.
Widji mengaku bisnis Grup Sambas berkembang pesat dalam 10 tahun terakhir. Kemajuan itu
dicapai dengan berbagai upaya dan strategi jitu. “Kami memang terus mencoba, berikhtiar
dan belajar tiada henti. Saya selalu mengikuti perkembangan-perkembangan dunia bisnis
konstruksi, yang menjadi core bisnis kami, hingga perkembangan teknologi,†tutur sarjana
hukum dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini. Menurutnya, bisnis harus dikembangkan
secara profesional, antara lain dengan menjaga kualitas dan kesinambungan serta
memberdayakan pegawai.
Biasanya bisnis konstruksi sarat dengan proyek-proyek pemerintah. Namun, Grup Sambas melalui
PT Sambas Wijaya (lini bisnis konstruksi) tidak mau mengandalkan proyek dari pemerintah
sebagai lahan utama. Mereka lebih mengutamakan bekerja sesuai dengan komitmen yang
mengacu pada prosedur operasional standar dan mutu, serta menjaga nama baik keluarga.
Contohnya, grup ini menggarap proyek pembangunan pabrik dan gudang PT Boyang Industry.
Pabrik ini adalah produsen rambut palsu terbesar di kota itu dan baru relokasi dari Guangzhou,
Cina, ke Purbalingga. Asal tahu saja, selama ini bisnis konstruksi Sambas mengerjakan paketpaket
proyek yang nilainya di atas Rp 25 miliar.
Manajemen Grup Sambas menyadari karyawan adalah aset penting. Itulah sebabnya, untuk
meningkatkan kualitas karyawan, secara rutin diundang beberapa trainer. Misalnya, Ary Ginandjar
dari ESQ atau konsultan sertifikasi mutu ISO. Sementara untuk menjaga loyalitas bawahan, secara
berkala perusahaan ini memberangkatkan haji karyawan. Dari tahun 2003 sampai sekarang,
sudah ada 11 karyawan yang berhaji gratis.
Bagi Widji, melihat kondisi dunia bisnis sekarang, investasi yang paling memungkinkan adalah
memanfaatkan daerah setempat. Untuk itu, anak ke-4 dari 7 bersaudara ini akan berekspansi ke
usaha pengolahan bahan makanan dan minuman yang terintegrasi. “Saat ini rencana
pabriknya masih dalam tahap studi kelayakan. Mungkin tahun 2009 akan terealisasi,†ujar
pengusaha berusia 39 tahun itu. Pabrik yang diperkirakan menelan dana ratusan miliar itu juga
melibatkan para investor lokal dari Purbalingga. Bahan bakunya bakal dioptimalkan dari daerah
setempat. Perusahaan yang nantinya zero waste process ini diharapkan bisa melempar mayoritas
produknya ke pasar ekspor.
Grup Sambas sangat peduli terhadap penciptaan lapangan kerja. “Kami ingin menjadi salah
satu perusahaan yang ikut berperan di dalam era penciptaan lahan kerja untuk mengurangi
pengangguran,†kata Widji. Menurut dia, makin banyak orang bekerja, makin makmur
daerah tersebut. “Kalau Purbalingga yang penduduknya hampir 1 juta makmur, bisnis pun
ikut berkembang,†ujar suami Aryawindarti itu menambahkan.
Eva Martha Rahayu/Herning Banirestu
Mustika Jati Jepara:
Pionir dan Eksportir Mebel Jati
Kota Jepara memang identik dengan produk mebel berbahan baku kayu jati. Lihat saja, di kota ini
showroom mebel ada di mana-mana. Dari kota ini pula muncul CV Mustika Jati Jepara (MJJ)
sebagai pemain bisnis mebel terkemuka di Tanah Air, khususnya produk mebel kayu jati.
MJJ dirintis oleh H. Ikhsan Hasyim (almarhum) pada 1973. Dalam tempo singkat, MJJ mampu
merambah pasar Jakarta, walaupun lebih sebagai pemasok ke sejumlah showroom mebel ternama
seperti Candi Baru, Hasta Karya dan Karya Guna. Saat itu, jenis produk mebel yang dipasarkan
pun masih terbatas pada perlengkapan rumah tangga seperti dining set, display cabinet, sofa set,
dan dressing table, belum sampai menggarap office set.
Penataan perusahaan dan perubahan strategi pemasaran mulai dilakukan di MJJ ketika anak-anak
H. Ikhsan, yakni H. Noer Yachman dan 7 saudaranya, masuk ke perusahaan ini pada 1990. Selain
berkiprah di MJJ, Yachman dan saudara-saudaranya juga memiliki bisnis mebel sendiri. Setiap
gerai yang mereka miliki pasti diberi nama Mustika. Di Jepara ada Mustika Sapta Kencana dan
New Mustika. Sementara di Jakarta ada Mustika Jati Baru (milik Turchamim), Mustika (milik Siti
Kurniati), dan Mustika Jepara (milik Yachman). Di Jakarta, mereka menguasai sentra mebel di Jl.
Raya Bekasi Km 18, dan mereka juga memiliki bengkel finishing sendiri.
Menurut Yachman, ketika ia dan saudara-saudaranya masuk, MJJ tengah mengalami stagnasi.
Strategi pemasaran yang dilakukan bapaknya dinilainya kurang yahud dan tidak agresif.
“Dulu, Bapak belum memikirkan pasar luar negeri. Padahal, kebutuhannya cukup
besar,†ucap Yachman yang dipercaya sebagai Direktur MJJ.
Oleh karena itu, setelah dipercaya memegang tampuk pimpinan di MJJ, Yachman dan saudarasaudaranya
langsung menerapkan strategi membidik pasar ekspor. Pasar Amerika Serikat, Eropa
dan Asia menjadi bidikan utamanya. Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ini mulai
menjaring pembeli asing melalui jaringan yang dimilikinya. Tak hanya itu, Yachman sengaja
melebarkan sayap Divisi Pemasaran MJJ ke Singapura. Tujuannya untuk menjaring para pembeli
asal Singapura. Negeri Singa ini dianggap potensial karena banyak pemasarnya yang singgah ke
sini. Bahkan, MJJ pernah pula membuka divisi yang sama di Malaysia. Tak lupa, Yachman pun
memanfaatkan teknologi Internet untuk memasarkan produknya (lewat situs
http://www.mustikajati.co.id). “Agar buyer ataupun customer dapat langsung mengorder dari
tempat tinggalnya,†ia menjelaskan.
Perubahan strategi bisnis ini cukup menakjubkan. Dalam sebulan, Yachman menceritakan, MJJ
mampu mengekspor produk mebelnya sebanyak 15 kontainer â€â€oe satu kontainer nilainya
mencapai sekitar Rp 250 juta. Itu hanya untuk pasar Kanada dan AS. Padahal, dalam
perkembangannya kemudian pasar ekspor MJJ juga mencakup Asia dan Eropa. Lambat laun nama
MJJ mulai dikenal oleh buyer luar negeri. Keadaan yang sama juga terjadi pada pasar lokal.
“Buyer lokal juga merekomendasikan produk Mustika,†Yachman mengklaim.
Untuk pasar domestik, menurut Yachman, produk MJJ sudah merambah ke seluruh Indonesia,
walaupun gerainya hanya terdapat di Jepara dan Jakarta. “Tapi mitra bisnis kami ada di
Bali, Makassar dan Kalimantan. Kami memasok showroom-showroom yang ada di
Indonesia,†ungkap Yachman, yang menilai besarnya pasar lokal sama dengan pasar
ekspor.
Toh, Yachman mengakui, krisis global yang terjadi saat ini berimbas pula pada kinerja MJJ. Dalam
7 bulan terakhir, terjadi penurunan 20%-30% untuk pasar ekspor. Sementara untuk pasar lokal,
penurunannya mencapai 15%. Di sisi lain, investor asing mulai merangsek masuk dan
memproduksi sendiri, sehingga persaingan semakin ketat. Akibatnya, ia mengakui omset MJJ
melorot hingga 20%, hingga terpaksa merampingkan karyawan. Kalau sebelumnya pegawainya
sekitar 500 orang, kini tinggal setengahnya. “Sekarang ini pengadaan bahan bakunya
tergolong susah,†kata Yachman menyebut masalah yang lain.
Agar tetap eksis dan memenangi persaingan, Yachman melakukan beberapa perubahan strategi
dengan prinsip mengikuti selera pasar. Antara lain, dengan memunculkan desain dan finishing
baru yang menarik dengan mengikuti kemauan pasar. Misalnya, untuk pasar Asia lebih banyak
menampilkan ukirannya, sedangkan untuk pasar AS dan Eropa, lebih menawarkan konsep
minimalis. Selain itu, MJJ juga mulai mengalihkan pasarnya dari AS ke Asia Timur.
A. Mohammad B.S. & Sigit A. Nugroho
Pasar Raya Sri Ratu:
Pionir Pusat Perbelanjaan Modern
di Semarang
Boleh dibilang Pasar Raya Sri Ratu adalah raja ritel dari Jawa Tengah. Bagaimana tidak, selain
kepeloporannya, dalam bisnis pusat perbelanjaan modern yang dirintis sejak tahun 1970-an,
gerainya juga terus beranak pinak. Dari Semarang, gerai Sri Ratu merambah ke Purwokerto,
Tegal, Pekalongan, bahkan meluas hingga ke Jawa Timur, yakni di Kediri dan Madiun.
Hebatnya, meski belakangan jaringan hypermarket dan supermarket asal Jakarta agresif
menyerbu Semarang, Sri Ratu tetap eksis. Lihat saja kehadiran gerai Carrefour, Hypermart,
Makro, Matahari Department Store, dan Alfa Supermarket yang menambah marak persaingan
bisnis ritel di ibu kota Ja-Teng itu. Namun, entah mengapa justru beberapa peritel besar yang
menjadi kompetitor Sri Ratu itu malah limbung.
“Sebenarnya kami sempat grogi juga dikepung oleh peritel kakap dari Jakarta. Apalagi
beberapa lokasi Sri Ratu head to head dengan peritel-peritel raksasa tersebut,†tutur
Resturiadi Tresno Santoso yang membesut Sri Ratu bersama istrinya, Tutik Santoso.
Resturiadi memiliki jurus khusus agar Sri Ratu bisa memenangi persaingan. “Kami
mengubah konsep Sri Ratu dari one stop shopping menjadi mal,†ujar pria kelahiran
Yogyakarta tahun 1949 itu. Maka, di akhir tahun 2008 bos yang membawahkan 4.500 karyawan
ini memperluas tiga toko Sri Ratu menjadi mal, yakni gerai toko di Madiun, Tegal dan Kediri.
Kunci keberhasilan lainnya dalam mengelola Sri Ratu: tekun dan ulet. “Yang jelas, kami
harus customer-oriented dan memberi pelayanan terbaik,†kata Resturiadi yang juga
berbisnis ayam petelur di bawah payung PT Rehobat. Tidak kalah penting, kekuatan Sri Ratu
adalah memiliki relasi bisnis yang luas di luar negeri. Kolega-kolega inilah yang memasok aneka
rupa produk fashion-branded ke Sri Ratu.
Resturiadi mengisahkan cikal bakal kelahiran Sri Ratu. Mula-mula usahanya itu hanyalah toko kecil
biasa yang dibuka pada 1978. Ia dipaksa ayahnya untuk mandiri secara ekonomi dengan
membuka usaha toko. “Awalnya saya bingung, toko ini mau diisi apa. Untunglah, ada
beberapa relasi saat saya menjadi salesman sepatu yang bersedia menjadi pemasok dengan
sistem pembayaran di belakang,†ujarnya sembari mengutarakan, awalnya jumlah
pegawai yang digaji hanya 20 orang.
Tak dinyana, dalam perkembangannya toko itu menjadi besar. Dan, tahun 1986 bendera Sri Ratu
mulai dikibarkan dengan diikrarkan sebagai pusat perbelanjaan modern pertama yang sudah
berpendingin dan ada fasilitas eskalatornya. “Betul, sebelum Sri Ratu sudah ada
supermarket Mickey Mouse. Tapi, supermarket itu belum ada AC dan eskalatornya,â€Â
Resturiadi menuturkan. Jadi, ia menegaskan, Sri Ratu-lah yang menjadi pionir pusat perbelanjaan
modern ber-AC dan memiliki tangga berjalan yang otomatis.
Gerai Sri Ratu yang perdana di Semarang dibangun setinggi empat lantai dengan masing-masing
lantai seluas 1.500 m2. Dengan konsep one stop shopping kala itu, Sri Ratu terdiri dari
department store, supermarket, kafetaria dan arena bermain anak-anak.
Ketika membangun Sri Ratu, Resturiadi mengaku tidak semata-mata mengejar untung, melainkan
juga membawa misi pemberdayaan ekonomi dari Pemda Semarang. Mereka menginginkan adanya
pembangunan pusat perbelanjaan yang bisa menjadi lokomotif ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Itulah sebabnya pembangunan Sri Ratu didukung penuh oleh Bank Pembangunan Daerah Jateng.
“Tujuannya memang untuk lebih menghidupkan dan menjadi lokomotif ekonomi Kota
Semarang,†ia menambahkan.
Sewaktu pertama diperkenalkan, Sri Ratu sempat menimbulkan pro dan kontra. Kala itu, banyak
yang pesimistis bahwa Sri Ratu akan bertahan lama dengan penampilannya yang megah dan
modern. †Orang-orang menganggap cost kami akan tinggi, sehingga tidak bisa ditutup
dengan omset penjualan,†papar Resturiadi. Toh, faktanya tidak demikian. Malahan, Sri
Ratu terus mengepakkan sayap bisnisnya.
Setelah sukses di Semarang, setiap dua tahun muncullah cabang Sri Ratu di tempat lain. Selain
menambah gerai di Semarang, tepatnya di kawasan Peterongan, Sri Ratu merambah pula ke kotakota
lain. Sekadar informasi, ekspansi Sri Ratu keluar kota Semarang ternyata sebagian besar
atas permintaan dari pemda setempat yang menginginkan daerahnya maju. “Meski kami
diminta, tidak ada fasilitas khusus, kecuali kemudahan perizinan,†ucap bapak dua anak
itu.
Eva Martha Rahayu/Gigin W. Utomo
Tong Tji:
Dedengkotnya Teh Melati
Bagi penggemar jasmine tea, merek Tong Tji pasti tak asing. Apalagi, Tong Tji menawarkan
berbagai pilihan produk — yang biasa ataupun yang eksklusif — dengan kemasan yang apik dan
modern. Meski terkenal, banyak yang tak tahu bahwa usia bisnisnya telah mencapai 60 tahun.
Sekarang, pengelolaannya berada di tangan generasi ketiga.
Tatang Budiono, Direktur Perusahaan Teh Dua Burung (PTDB, pemilik merek Tong Tji),
mengungkapkan bahwa kakeknya, Tan See Giam, mendirikan perusahaan ini pada 1938. Boleh
dibilang, PTDB merupakan salah satu pelopor industri teh di Tegal. Saat itu, merek Tong Tji belum
ada, karena baru dilahirkan pada 1965, dari tangan Suwandi Tjahjanto, ayah Tatang. Merek Tjong
Tji diposisikan sebagai merek kedua dengan mutu kelas satu, melengkapi merek Teh Dua Burung
yang lebih dulu beredar.
Menurut Tatang, yang menonjol dari perusahaan warisan keluarganya adalah komitmennya
terhadap mutu teh. Ia mengungkapkan pada saat krisis ekonomi 1985, harga bahan baku teh
meningkat tajam sementara daya beli menurun. Saat itu banyak perusahaan teh menurunkan
kualitas tehnya supaya harganya terjangkau. Namun, PTDB justru melakukan sebaliknya:
menaikkan harga, tapi kualitas teh dipertahankan. “Perlu perjuangan, karena rata-rata
harga kami lebih tinggi dari yang lain, tapi kualitas yang utama,†ujar laki-laki kelahiran
Tegal, 14 Juli 1958, ini seraya menambahkan, perusahaannya memiliki tim riset & pengembangan
sendiri.
Meskipun terhitung sebagai perusahaan tua, inovasi produk tampaknya selalu menjadi perhatian
PTDB. Menurut Tatang, inovasi yang pertama kali dilakukan perusahaannya adalah meluncurkan
teh celup pada 1990. Saat ini teh celup tersebut telah dikembangkan ke berbagai varian. Selain
jasmine tea (teh melati), ada juga black tea jasmine, green tea, green tea jasmine, lemon tea
dan, yang baru dipasarkan, mix fruit infusion (lemon, peach dan strawberry).
Gebrakan lainnya, perusahaan ini memelopori pembuatan gerai teh kemasan cup siap minum. Ide
itu timbul ketika Tatang jalan-jalan ke luar negeri. Saat itu, ia melihat bubble tea yang dijual di
pinggir jalan dengan menggunakan kemasan cup. Awalnya, gerai teh Tong Tji ini memberikan
minuman segar es teh secara gratis di lokasi-lokasi strategis seperti mal atau pasar. Ternyata,
sambutannya luar biasa sehingga gerai ini menjual es teh cup dengan harga Rp 2.500/cup,
tergantung lokasinya.
Meskipun gerai es teh cup ini banyak diminati orang untuk di-franchise-kan, Tatang belum mau
melakukannya. Alasannya, ada risiko penurunan kualitas teh Tong Tji. “Pengawasannya
susah,†katanya. Saat ini pengelolaan gerai-gerai ini diberikan ke orang-orang yang betulbetul
dipercaya. Biasanya karyawan atau keluarga karyawan. “Jadi, saya tidak
mengutamakan kuantitas. Takutnya menjatuhkan kami sendiri.â€Â
Kekhasan tehnya, menurut Tatang, rasanya sepet dengan kadar tanin yang tinggi sehingga
rasanya lebih kuat. Menurutnya, hal ini dimungkinkan karena daun teh yang digunakan adalah
daun teh pilihan, yang berasal dari Sukabumi, Jawa Barat. Daun teh ini dicampur dengan bunga
melati yang diambil dari pantai utara Jawa (Pantura) sekitar Tegal. Pemasaran teh Tong Tji masih
berkonsentrasi di Pulau Jawa, dan mayoritas di Ja-Teng dan Jawa Barat. Semua bahan itu diolah di
pabrik dengan 300 karyawan di Desa Padaharja, Kecamatan Kramat, Tegal. Kapasitas produksinya
3-4 ton/hari tergantung pada jumlah bunga melati yang ada. Pasalnya, produksi bunga ini sangat
tergantung musim.
Tatang mengklaim perusahaan teh yang memiliki total 1.000 karyawan ini masuk lima besar
nasional untuk kategori jasmine tea. Menurut pehobi golf ini, pasar teh Indonesia masih sangat
besar karena minum teh merupakan bagian dari tradisi bangsa ini. Bahkan, saat ini anak kecil saja
suka minum teh. Diakuinya, dari segi permodalan, perusahaannya kalah dibanding dengan
kompetitor. Itulah sebabnya, ia hanya mau bersaing dalam hal inovasi produk. Dengan anggaran
promosi 5%, PTDB lebih banyak melakukan promosi below the line.
Sebagai generasi ketiga, ayah empat anak ini telah mempersiapkan putra-putrinya — yang
bersekolah di Australia– untuk menggantikan posisinya di perusahaan. Anak pertama dan
keduanya sudah belajar dan terjun ke perusahaan. “Mereka harus tahu dan mulai dari
bawah,†ujar Tatang. †Saya katakan (kepada mereka), perjuangan kalian lebih
berat daripada saya dulu,†tutur pria yang duduk di tampuk kepemimpinan perusahaan
pada usia 19 tahun karena ayahnya meninggal dunia ini.
Yuyun Manopol & Moh. Husni Mubarak
Bandeng Juwana:
Jagonya Bandeng Presto
dari Pandanaran
Jalan-jalan ke Semarang, belum pas rasanya kalau tidak membawa oleh-oleh bandeng duri lunak
presto. Nah, di antara deretan toko oleh-oleh di sepanjang Jl. Pandanaran, ada sebuah toko yang
selalu tampak ramai oleh antrean pembeli, yakni Toko Bandeng Juwana.
Toko yang terletak di Jl. Pandanaran 57 itu awalnya hanya sebuah rumah, sekaligus tempat
praktik dokter, milik dr. Daniel Nugroho Setiabudi (kini 75 tahun). Ketika itu, Daniel dan istrinya,
Ida Nursanti (almarhum), iseng-iseng menjual bandeng presto. Pelanggan awalnya tak lain para
pasien yang berobat ke situ. Daniel mulai menjual bandeng presto buatannya untuk umum pada 3
Januari 1981. Untuk menjual bandeng itu, Daniel dibantu istri dan ketiga pembantunya. Hari
pertama menjual bandeng, hanya terjual tiga ekor.
Toh, hal itu tidak membuat mereka patah semangat. Ketelatenan dan kesabaran Daniel dalam
berbisnis bandeng presto mulai membuahkan hasil: produk mereka mendapat sambutan positif.
Pembeli berdatangan dan makin banyak permintaan dari pelanggan.
Untuk membedakan bandeng presto buatannya dengan warung bandeng sejenis, Daniel memberi
nama Bandeng Juwana. “Saya tidak menyangka usaha bandeng presto ini bisa berkembang
seperti sekarang. Padahal, awalnya hanya menyalurkan hobi makan dan masak,†kata
Daniel.
Kini, Toko Bandeng Juwana selalu diserbu pelancong dari luar kota. Jika di hari pertama hanya
terjual tiga ekor sehari, sekarang tokonya mampu menjual sekitar 300 ekor bandeng per hari.
Sekarang, karyawannya sudah mencapai 100 orang. Sebagai toko oleh-oleh, Toko Bandeng
Juwana tidak hanya menjual bandeng presto, tapi juga ayam tulang lunak, wingko babat, dan
berbagai penganan kecil dan ringan khas Semarang dan Jawa Tengah. “Namun, bandeng
presto tetap menjadi produk utama kami,†Daniel menegaskan.
Selain Toko Bandeng Juwana, Daniel juga memiliki warung bandeng bernama Elrina yang
menawarkan berbagai menu masakan berbahan baku bandeng, yang bisa dimakan di tempat
ataupun dibawa pulang. Masakan yang ditawarkan Elrina yakni: tongseng bandeng, gudeg
bandeng, nasi goreng bandeng, pepes bandeng, bandeng teriyaki dan sate bandeng.
Hingga saat ini Daniel belum berminat berekspansi membuka Toko Bandeng Juwana di luar
Semarang. Padahal, tawaran dari mereka yang ingin menjadi mitra atau waralabanya sudah
banyak. “Saya tidak ada resep apa-apa. Saya sendiri bingung, kenapa orang kalau beli
bandeng presto selalu ke tempat kami. Padahal cara kami membuat bandeng presto sama dengan
toko bandeng presto lain,†Daniel memaparkan. Toh, dari perjalanan bisnisnya selama ini
ia bisa melihat kunci suksesnya, yang tak lain pada caranya melayani pembeli sejak memasuki
tokonya.
Tutut Handayani & A. Mohammad B.S.
Harpindo Jaya:
Juragan Yamaha dari Semarang
Nama Kang Giok Tik disebut-sebut sebagai salah satu legenda bisnis otomtotif di Jawa Tengah. Ia
adalah pendiri Harpindo Jaya (HP), jaringan showroom Yamaha terbesar di Ja-Teng.
Sekarang, HP telah memiliki 60 cabang ruang pajang Yamaha yang tersebar di kota-kota di Ja-
Teng dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari showroom itu, HP rata-rata bisa menjual motor
sebanyak 5 ribu unit per bulan. Tak heran, dengan penjualan sebanyak itu, HP dianggap sebagai
penguasa pasar motor Yamaha di Ja-Teng.
Kang Giok Tik pertama kali membuka usaha bisnis sepeda motor dengan nama Toko Harapan
Jaya, berlokasi di Jl. Dr. Cipto, Semarang. Di tangannya, motor Yamaha berkembang lumayan
cepat. Perkembangan yang cukup signifikan mulai dirasakan ketika dirinya dipercaya bekerja sama
dengan beberapa lembaga keuangan untuk pembiayaan secara kredit. Yang pertama kali
mengajak kerja sama adalah Bank Surakarta. Di tahun-tahun berikutnya, terjalin kerja sama
dengan Bank Perniagaan, Bank Dagang Nasional Indonesia (sudah ditutup), dan BCA.
Momentum perkembangan yang mengesankan terjadi pada 1989, setelah HP menjadi Yamaha
Centre pertama untuk wilayah Ja-Teng. Sejak itu, HP membuka cabang di beberapa kota kecil di
Ja-Teng.
Setelah Kang Giok Tik meninggal tahun 1987, manajemen HP dikelola generasi kedua hingga saat
ini. Kang Giok Tik memiliki 8 anak, tapi manajemennya kini dipegang lima anak lelakinya. Mereka
menjabat sesuai dengan kapasitas masing-masing. Tanto Soegito, anak ketiga, menjabat sebagai
direktur yang juga menangani bidang pemasaran, bersama adiknya, Taryo Subagiyo dan Tarjo
Sujiwo. Sementara dua adiknya yang lain, Tardi Suwarno menangani teknologi informasi,
sedangkan Taryo Sutikno memegang urusan keuangan dan bisnis suku cadang.
Menurut Tanto, ia bersama adik-adiknya sudah sepakat untuk membesarkan bisnis yang
diwariskan orang tuanya. Mereka tetap berusaha menjaga kekompakan dalam kondisi apa pun.
Kekompakan inilah yang membawa kemajuan besar bagi HP. Memang sejak masih kecil, Tanto
dan adik-adiknya sudah akrab dengan bisnis sepeda motor. Di luar jam sekolah, mereka pasti
membantu orang tuanya mengelola toko.
Meski sekarang HP sudah menjadi penguasa pasar Yamaha di Ja-Teng, Tanto mengaku tidak akan
terlena. Apalagi saat ini persaingan bisnis antar-dealer Yamaha sendiri kian ketat. Persaingan ini,
ia menambahkan, sengaja diciptakan pihak produsen dengan tujuan supaya masing-masing dealer
berlomba menjual Yamaha. †Kalau sampai terlena kami bisa ketinggalan,†kata
kelahiran 4 Januari 1958 ini.
Dalam upaya meningkatkan penjualan, HP juga terus membuka showroom barunya di kota-kota
yang dianggap strategis. Dalam waktu dekat ini bakal diresmikan showroom baru yang berlokasi di
Jl. Monjali, Yogya. Selain itu, akan dibuka pula gerai baru di beberapa kota di Ja-Teng.
Pembukaan showroom baru tersebut dimaksudkan untuk menjaga pertumbuhan perusahaan yang
ditargetkan rata-rata mencapai 10% per tahun. Selain membuka showroom baru, HP juga concern
untuk membuka bengkel servis. Ke depan, penghasilan dari jasa bengkel ini diharapkan menjadi
sumber pendapatan tersendiri. †Kami sedang menyiapkan bengkel-bengkel khusus
Yamaha, selama ini banyak showroom yang belum dilengkapi dengan pelayanan servis,â€Â
Tanto menuturkan.
HP juga tergolong rajin melakukan branding. Anggaran yang digelontorkan pun tergolong besar,
rata-rata Rp 5 miliar per tahun untuk program promosi, baik above the line maupun below the
line. Bahkan, saat ini HP memiliki kontrak kerja sama dengan televisi lokal di Semarang untuk
mengisi salah satu paket acara.
Selain menekuni bisnis motor, ternyata HP memiliki anak usaha yang bergerak di perdagangan
komputer dengan bendera Harapan Komputer. Bisnis ini ditangani adik kandung Tanto yang
bernama Tardi Suwarno. Puluhan gerai komputernya tersebar di Surabaya dan Semarang.
Gigin W. Utomo dan Dede Suryadi
Dewi Sri:
Melaju di Bisnis Transportasi Massal
Nama Dewi Sri dalam legenda Jawa dikenal sebagai sosok dewi yang melambangkan kemakmuran
di dunia cocok tanam padi. Namun, Dewi Sri yang satu ini lain. Ia menjelma menjadi ratu jalanan.
Ya, Dewi Sri ratu bus antarkota antraprovinsi (AKAP) yang didirikan oleh seorang wanita
Adalah Hj. Rukoyah, yang memberanikan diri merintis usaha bus PO Dewi Sri. Ia mengatakan,
kebutuhan ekonomilah yang menuntutnya bergelut di dunia usaha. Pendapatan suami sebagai
pegawai negeri sipil tak mencukupi untuk membesarkan 6 anaknya.
Awalnya Rukoyah berbisnis beras, tidak jauh dari asalnya sebagai keluarga petani. Beras yang
diambil dari daerah Bumiayu ini dijualnya ke beberapa daerah di luar Tegal termasuk Jakarta.
Selain itu, berasnya dipasok juga ke Dolog. “Omsetnya bisa 50 ton per hari,â€Â
ungkap wanita kelahiran Tegal 28 Oktober 1948 ini.
Tahun 1993, ia melihat ada peluang usaha di bidang otomotif, khususnya transportasi massal. Ia
pun mulai membuka trayek bus tiga perempat jurusan Tegal-Purwokerto. Merasa kurang puas,
dua tahun kemudian, ia mengembangkan sayap untuk mencoba yang lebih besar yaitu membuka
trayek bus AKAP, jurusan Jakarta-Tegal dengan 7 unit bus baru. “Modalnya sekitar Rp 850
juta per unit,†kata Rukoyah yang saat ini memiliki sekitar 100 unit bus AKAP yang siap
melayani penumpang dengan jurusan Tegal-Jakarta, Pekalongan-Jakarta, dan Purwokerto-Jakarta.
Menurutnya, kunci sukses dalam mengelola perusahaan bus ini adalah pelayanan untuk
penumpang. Dua hal yang perlu diperhatikan, sopir dan kendaraan.
Dia mengatakan, mengatur sopir itu gampang-gampang susah. Dari segi pekerjaan kelihatan
gampang, tapi mengatur agar mereka disiplin tidak mudah. “Maklumlah, rata-rata mereka
tidak mengenyam pendidikan tinggi,†ujarnya tentang 400 sopir yang dibawahkannya.
Harus ada aturan perusahaan yang ketat dan kontrol dari manajemen. “Aset kami sopir ini.
Kalau mereka tidak bisa dikendalikan, sering ngompreng membuat penumpang kecewa,â€Â
lanjutnya.
Selain sopir, kenyamanan penumpang dipengaruhi oleh faktor kendaraan itu sendiri. Untuk itu,
Rukoyah selalu memilih bus-busnya dengan kualitas yang bagus seperti Mercy dan Volvo. Untuk
perawatan kendaraan, selain memiliki tim maintainance, ia juga terjun langsung untuk melihat
kekurangannya sehingga bisa langsung diperbaiki atau diganti dengan yang baru. Ia berusaha
terus melakukan peremajaan untuk membuat bus-busnya tampak sedap dipandang dan nyaman
saat di jalan.
Sekarang, istri H. Ismail ini tidak terlalu banyak mengurusi secara operasional perusahaannya. Ia
telah memercayakan Dewi Sri dan unit bisnis yang lain seperti pom bensin dan rumah makan pada
anak-anaknya. Untuk pom bensin omsetnya 30 ton per hari, sedangkan rumah makan dikelola
mandiri oleh anak pertamanya, Sri Sakti Handayani. Adapun Ikmal Jaya, yang semula menjabat
Dirut PO Dewi Sri digantikan oleh kakaknya, Edi Utomo. Ikmal kini Walikota Tegal terpilih periode
2009-2014.
Tahun 2003, ekspansi usaha yang lain dari Dewi Sri yaitu feeder bus TransJakarta yang melayani
dua rute: BSD City-Pondok Indah-Ratu Plaza-Plaza Senayan, dan BSD City-Kota-Mangga Dua.
“Kira-kira ada 40 unit, omsetnya Rp 800 ribu per hari untuk Serpong Citra Raya, dan Rp
500 ribu per hari untuk Citra Indah,†ujar wanita yang hobi senam ini. Rencananya
perusahaan ini juga ingin masuk ke lini busway, tapi kalah tender dengan Lorena. “Belum
rezekinya. Mungkin lain kali kami yang dapat.â€Â
Moh. Husni Mubarak dan Taufik Hidayat
Pringsewu Restaurant Group:
Berhasil Karena Peduli SDM
Sebelum menekuni bisnis kuliner, Agus Hadyanto adalah pengusaha furnitur yang memasok
produknya ke sejumlah toko mebel di berbagai kota di Jawa Tengah. Namun, belakangan ia
terpincut berbisnis rumah makan setelah melihat kinerja restoran Mie Pasar Baru milik istrinya.
†Saya tertarik karena bisnis rumah makan memberi keuntungan yang menarik,â€Â
ungkap pria kelahiran 28 Agustus 1948 yang menekuni bisnis kuliner sejak 1997 ini.
Kini, di bawah manajemen Pringsewu Restaurant Group (PRG), Agus memiliki 9 resto, antara lain
Resto Pringsewu di Pemalang, Yogyakarta dan Surakarta, serta Resto Pringjajar dan Kabayan. Di
luar itu, keluarga Agus juga memiliki empat resto dengan menu spesial mi di bawah manajemen
Mie Pasar Baru Jakarta Group (MPBJ), yang berlokasi di Tegal, Yogya dan Solo.
Pada 2009, jumlah resto yang dikelola bapak dua anak ini akan segera bertambah dua, dengan
pembukaan unit resto di Purbalingga dan Sumpiuh, Ja-Teng. Lokasi resto di Purbalingga
berdekatan dengan kawasan objek wisata Owabong. †Persiapannya sudah 90%, dan
musim liburan ini beroperasi,†kata Agus.
Menurut pria berkacamata ini, jika hanya mengejar target, sebenarnya dia bisa membuka cabang
sebanyak-banyaknya dengan sistem waralaba. Akan tetapi, dia tak mau melakukannya dengan
alasan ketidakkesiapan SDM. Padahal, banyak pihak yang mengajaknya bekerja sama membuka
resto dengan bendera Pringsewu.
Sebagai pemilik PRG dan MPBJ, suami Elly Yuliana ini terus berusaha bisa membuka resto-resto
baru. Namun, dia tidak ingin melakukannya dengan tergesa-tergesa. Dia lebih senang dengan
prinsip alon-alon waton kelakon. Karena itulah, kini dia menargetkan hanya meluncurkan satu
rumah makan baru per tahun.
Bagi Agus, rumah makan termasuk bisnis jasa. Kalau tidak bisa mengelola dengan manajemen
yang baik, pasti tidak akan berkembang. Kunci keberhasilannya adalah SDM. †SDM
memiliki peran vital bagi maju-mundurnya perusahaan,†ujarnya tandas. Perusahaannya
saat ini menerbitkan dokumen Internal Quality Service (IQS), yakni sistem yang mengatur
kesejahteraan karyawan dan berbagai hak karyawan (dari gaji yang layak, tunjangan hari tua,
kesehatan, karier hingga kesempatan liburan).
Menurut Agus, pembuatan IQS merupakan bentuk keseriusan manajemen agar karyawan bekerja
secara tenang dan nyaman di lingkungan PRG. Dia meyakini, jika dipuaskan oleh perusahaan —
yang antara lain berkaitan dengan suasana kerja, jaminan masa depan, jaminan karier dan
kesehatan — karyawan akan merasa dihargai. †Jika mereka bangga dan senang, mereka
akan termotivasi untuk bekerja sebaik mungkin.â€Â
Selain IQS, perusahaan menyisihkan 5% dari pendapatannya untuk dibagi ke karyawan, sebagai
pemberian tunjangan hari tua dan tunjangan kesehatan untuk keluarga karyawan. Bahkan,
karyawan juga diberi kesempatan menambah penghasilan dengan menjual produk/jasa tertentu di
rumah makan, seperti cenderamata dan jasa pijat listrik. Menurut Agus, menciptakan suasana
kerja yang kondusif merupakan program yang terus dibangun di lingkungan PRG. Untuk itu, pihak
manajemen mengadakan pertemuan rutin dengan karyawan yang bertujuan menampung berbagai
keluhan. Apabila tidak berani mengungkapkan secara terbuka, karyawan bisa menulis keluhan
tersebut. †Di sini karyawan boleh ngomel ke manajernya. Selanjutnya, manajer juga
boleh ngomel ke direkturnya,†ujar Agus. Menurut Totok Sutrisno, karyawan yang
dipercaya mengelola SDM, sebagai pengusaha, Agus sangat egaliter. †Ia tidak alergi
dikritik dan sangat menghargai ide-ide karyawan,†kata Totok.
Yang menarik, setelah pensiun nanti, Agus tidak akan menyerahkan manajemen PRG ke anakanaknya.
Alasannya, ia sudah percaya dengan manajemen yang sudah ada selama ini.
†Terus terang, walau ini (perusahaan ) keluarga, tapi tak ada satu pun yang terlibat di
dalam manajemen. Semua diserahkan kepada profesional yang rata-rata fresh graduate,â€Â
ujar Agus bangga.
Karena itulah, Agus tidak resah ketika kedua anaknya menyatakan tak berminat membantu
mengurus bisnis ayahnya. Maklum, kedua anaknya sudah memiliki aktivitas masing-masing. Anak
pertamanya, Budi Hardyanto (32 tahun), telah asyik dengan bisnis selulernya, dan kini merupakan
salah satu dealer Telkomsel terbesar di Ja-Teng. Adapun anak keduanya, Ivon, ikut suaminya
yang merupakan pemilik toko emas.
Yuyun Manopol & Gigin W. Utomo
Karya Toha Putra:
Raja Percetakan Al Quran
dari Semarang
Salah satu perusahaan legendaris di Semarang adalah PT Karya Toha Putra (KTP). Perusahaan ini
secara konsisten menerbitkan kitab suci Al Quran sejak tahun 1960-an, didirikan oleh Yasid Toha.
Saat ini KTP yang produknya diekspor hingga ke Arab Saudi, dikelola generasi kedua.
Presdir KTP, Hasan Toha Putra, mengungkapkan, dari dua percetakan KTP di Semarang, tiap bulan
rata-rata mampu mencetak Al Quran sekitar 200 ribu kitab dalam berbagai model dan ukuran.
Dengan omset sebesar itu, Hasan mengklaim KTP sebagai pemimpin pasar penerbitan Al Quran di
Indonesia dengan pangsa pasar 30%.
“Yang pasti, setiap ada krismon atau krisis global, permintaan Al Quran justru makin tinggi
di pasaran,†ujar peraih gelar MBA dari Bridgeport University di Connectitut, Amerika
Serikat ini. Hasan bersyukur karena masyarakat yang dilanda masalah, pelariannya ke hal-hal
positif dengan mencari kedamaian melalui baca Al Quran.
Dari Semarang, Al Quran itu kemudian didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia. Baik lewat
jaringan toko buku Toha Putra, maupun lewat toko-toko pustaka lainnya. Untuk menyebarkan
kitab suci dan buku-buku Islam lainnya, KTP membuka kantor cabang yang tersebar di 22 kota di
Indonesia â€â€oe dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi.
Selama ini KTP memang identik sebagai penerbit Al Quran. Namun, sebenarnya, perusahaan ini
juga menerbitkan buku-buku agama populer, bahkan banyak yang best seller. Salah satu
contohnya adalah buku berjudul Kedahsyatan Fathihah. Tak hanya itu, KTP dikenal pula sebagai
penerbit buku pelajaran sekolah madrasah dari tingkat diniyah hingga aliyah.
Pengusaha kelahiran 10 Oktober 1955 ini menjelaskan, sebagai holding KTP tetap dipertahankan
sebagai penerbit Al Quran ternama. Sementara buku lainnya diterbitkan oleh anak perusahaan
KTP, antara lain, Pustaka Rizky Putra, Pustaka Nun dan Pustaka Wildan.
Kehadiran generasi kedua banyak membawa kemajuan bagi KTP. Berbagai terobosan mulai dari
produksi hingga pemasaran lahir dari generasi muda ini. Inovasi yang cukup penting adalah
diterbitkannya kitab Al Quran dengan model-model baru yang lebih variatif. Sebelumnya, Al Quran
yang diterbitkan masih berupa kitab standar, baik bentuk maupun ukurannya. Lazimnya, kertas
masih menggunakan jenis CD dengan warna kecokelatan atau putih. Lalu Hasan melakukan uji
coba, sehingga lahirlah Al Quran yang berukuran besar, kecil, bahkan seukuran saku dengan
pilihan warna kertas yang beragam. Menariknya lagi, dilengkapi dengan terjemahan bahasa
Indonesia, Jawa, dan lainnya.
Di luar dugaan, gebrakan produk kitab suci itu diminati pasar. Omsetnya pun terus meningkat,
sehingga laba perusahaan naik tajam. Tak berlebihan, bila dikatakan bahwa tahun 1980-an
menjadi tonggak bersejarah dalam perjalanan bisnis KTP. Sebab, pada dekade inilah KTP
membuka cabang di berbagai kota, baik untuk toko buku maupun distribusi.
Dengan komitmen menghasilkan cetakan yang baik, perusahaan ini terus melakukan investasi
dengan membeli mesin-mesin cetak yang canggih. Selain mesin cetak yang berkapasitas besar,
dibeli pula mesin penjilidan otomatis.
Eva Martha Rahayu/Gigin W. Utomo
Sinar Mutiara Shuttlecocks:
Juragan Shuttlecock Asal Tegal
Orang-orang Tegal dikenal mahir membuat shuttlecock. Keahlian itu merupakan warisan turuntemurun.
Tak heran, di Tegal khususnya di Desa Lawatan, Dukuhturi, banyak dijumpai pabrik dan
home industry bola bulutangkis itu. Beberapa merek shuttlecock terkenal dihasilkan dari Tegal,
seperti Garuda, Gajahmada dan Superman. Dan, PT Sinar Mutiara Shuttlecocks (SMS) merupakan
salah satu pemain bisnis shuttlecock yang patut diperhitungkan.
Bambang Siswanto merintis berdirinya SMS tahun 1982. Namun, ia mulai serius menekuni bisnis
bola bulutangkis itu pada 1987. Ia kepincut menjajal bisnis itu lantaran melihat sang ayah yang
tekun sebagai perajin shuttlecock. “Dari obrolan dengan karyawan Ayah, saya tertarik
memproduksi shuttlecock yang kualitasnya lebih baik. Caranya, saya membeli bulu bebek yang
mutunya bagus,†cerita mantan juara bulutangkis single putra se-Jawa Barat pada 1980
ini. Dan merek perdana yang diluncurkan adalah Sinar Mutiara.
Kemenangan tim Thomas Cup tahun 1984 membuat produsen shuttlecock panen. SMS juga
ketiban rezeki nomplok dari ajang pertandingan bulutangkis bergengsi itu. Kala itu semua jenis
shuttlecock mulai dari yang murah sampai mahal laku keras. Produk SMS pun banyak terjual di
Jakarta dan Bandung. Penjualan barang terbanyak datang dari toko-toko olah raga ketimbang
Gedung Olah Raga.
Tingginya permintaan konsumen, mau tidak mau mendorong SMS untuk meluaskan area produksi.
Maka, tahun 1987 dibangunlah pabrik SMS seluas kira-kira 17 x 20 meter dan dilengkapi dengan
hall untuk lapangan badminton. Dengan pabrik baru yang mempekerjakan 28 karyawan, kapasitas
produksi naik menjadi 50 slop atau 600 biji per hari (1 slop = 12 biji).
Dalam perkembangannya, meski pabrik telah diluaskan, tidak mampu memproduksi barang sesuai
dengan kebutuhan pasar. Solusinya, Bambang menerapkan pola kemitraan: bapak angkat untuk
home industry. Saat ini SMS mempunyai lima anak binaan. Tiap anak binaan diberi modal kerja
untuk produksi setengah jadi. Begitu sampai di pabrik SMS, produk itu memasuki tahap quality
control dan finishing. Masing-masing anak binaan memberi kontribusi produksi 30-50 slop saban
hari.
Untuk pengembangan merek, selain Sinar Mutiara, SMS memperkenalkan sejumlah merek baru.
Namanya Saporete dan Idola. Jika merek Sinar Mutiara kuat di Jakarta, Saporete eksis di
Bandung. Ketiga merek itu dikembangkan menjadi sekitar 30 jenis shuttlecock berdasarkan
kualitas. Katakanlah brand Sinar Mutiara diluaskan menjadi 12 merek, antara lain: Sinar Mutiara
King Smas dan Sinar Mutiara Christian. Kedua merek ini hasil kerja sama dengan Liem Swie King
dan Christian Hadinata sejak tahun 2008. Sementara Saporete diluaskan menjadi 8 merek,
sedangkan Idola dikembangkan dalam tiga merek untuk kelas bawah.
Pertimbangan Bambang mendiversifikasi merek dalam beberapa kelas, karena mutu bulu
bebeknya juga bervariasi. Semakin muda mutu bulu bebeknya, seri kualitasnya pun diurut dari
nomor satu, dua, tiga dan seterusnya. Umpamanya, bola badiminton nomor satu tentu kualitas
bulunya paling bagus dan enak digunakan. Sekadar informasi, harga shuttlecock Sinar Mutiara dan
Saporete berkisar Rp 37-60 ribu per slop. Sementara merek Idola dibanderol Rp 15-30 ribu per
slop.
Dengan beragam merek, SMS mampu memenuhi kebutuhan pasar lebih luas. Alhasil, pemasaran
shuttlecock SMS tidak hanya di Jakarta dan Bandung, tapi juga menjangkau ke wilayah luar Jawa,
seperti Batam, Palembang dan Medan. “Kami juga memproduksi shuttlecock pesanan dari
Batam sebanyak 50 dus per bulan (1 dus = 50 slop) dengan merek Platinum,†ungkap
laki-laki kelahiran 11 Februari 1957 ini.
Produk SMS bisa dikenal di banyak daerah, karena promosi ke toko-toko olah raga yang memiliki
jaringan klub bulutangkis. Selain itu, ia ikut langsung bermain badminton di lapangan untuk
mencoba merek-merek shuttlecock yang dibesutnya. “Kami pun mulai memikirkan untuk
menjadi sponsor beberapa pertandingan bulutangkis di Jakarta dan Bandung, semisal Sinar
Mutiara Cup,†kata Bambang yang mengaku kunci sukses bisnisnya bertumpu pada dua
hal: mengikuti selera konsumen dan didukung anak binaan perusahaannya.
Terkait dengan regenerasi SMS ke depan, Bambang telah melibatkan dua dari lima anaknya.
Masing-masing adalah Rudi Hartono Siswanto (24 tahun) dan Victor Hartono Siswanto (22 tahun).
“Ini harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya, karena shuttlecock merupakan bisnis
kebanggaan masyarakat Indonesia,†ujar bos yang kini membawahkan 200 karyawan itu.
Eva Martha Rahayu/Darandono
Batik Wirokuto
Generasi ke-4 yang Makin Eksis
Tidak salah Pekalongan menyandang julukan Kota Batik. Museum batik nasional saja ada di kota
ini, bukan di Yogyakarta atau Solo. Kalau mau masuk ke Pekalongan, baik di kabupaten ataupun
kotanya, pengunjung yang melewati jalur pantai utara akan menjumpai banyak galeri batik, dari
yang kecil hingga yang skala butik mewah. Salah satu butik yang besar dan terkenal adalah Batik
Wirokuto milik Romi Oktabirawa.
Berdasarkan silsilah keluarga, Romi termasuk generasi keempat yang menjadi pengusaha batik.
Kakeknya merupakan salah satu perajin batik di Kota Pekalongan, begitu juga bapaknya.
„Brand Batik Gentereyel adalah milik kakek saya dan Batik Geger milik Bapak
Saya,“ ujar Romi.
Lahir dari keluarga seni, Romi membuat dan memunculkan merek tersendiri, Batik Wirokuto, pada
1996. „Proses belajar batik saya lakukan dengan mulai mempelajari motif-motif batik
kuno, juga motif modern,“ katanya. Dari situlah ia mulai meredifinisi motif, warna dan
desain dalam implementasi pembuatan batik.
Usaha batiknya memiliki kapasitas produksi hingga 5.000 kain/bulan. Di bengkel kerjanya yang
mempekerjakan 100 perajin, Romi mampu memproduksi sekitar 1.000 kain/bulan, sisanya yang
4.000 kain ia alihdayakan ke pengusaha lain. Untuk memasarkan batiknya, ia memiliki tiga galeri,
yaitu butik pusat di Wiradesa, Kab. Pekalongan, butik di Kota Pekalongan, dan satu lagi di
Pasaraya Jakarta. Dari jumlah yang ia produksi, 50% untuk memenuhi permintaan domestik dan
sisanya diekspor ke Jepang berdasarkan pesanan. Selain selendang dan kemeja, Wirokuto sering
pula membatik kimono untuk memenuhi pesanan dari Jepang dan baju barong (pakaian
tradisional), pesanan dari Filipina.
Moh. Husni Mubarak

ULASAN :

strategi yang dilakukan di Jawa Tengah tidak cukup untuk membuat pabrik tekstil terintegrasi.
Pismatex saat ini sudah menjadi pabrik tekstil terintegrasi. Perusahaan mampu melakukan proses
pembuatan benang (spinning), pembuatan kain (weaving), penyempurnaan kain (finishing),
pewarnaan (dyeing) hingga menjadi produk garmen. Ekspansi di bisnis tekstil ini terwujud dengan
didirikannya pabrik spinning, PT Pisma Putra Tekstil, tahun 2000. Pabrik ini membuat berbagai
macam benang, mulai dari polirayon, poliester, rayon hingga katun. Awalnya memang
untuk Pismatex, tapi akhirnya juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan benang dalam negeri
maupun luar negeri, seperti Jepang, Eropa dan Amerika Latin. Jumlahnya hanya 20% yang
ekspor. Perusahaan ini memiliki kapasitas produksi 4.000 bal/bulan.

Tinggalkan komentar